Kegiatan Seni dan Kebudayaan Memerlukan Perhatian Serius Para Pemangku Kepentingan
Saat ini Indonesia belum bisa dikatakan bebas dari pandemi dan masih dalam masa transisi menuju pengendalian penyebaran Covid-19.
Editor: Hasanudin Aco
Promotor pertunjukan, Harry ‘Koko’ Santoso menilai kondisi infrastruktur kesenian Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain.
Gedung-gedung kesenian misalnya, yang layak hanya tersedia di Jakarta.
Akibatnya, jelas Koko, musisi nasional saat ini belum memiliki daya tawar yang cukup untuk bisa dihargai di kancah global.
Untuk bangkit dari kondisi tersebut, menurut Koko, kita perlu sebuah gerakan berskala nasional. Perlu perhatian besar dari para pemangku kepentingan untuk mewujudkan gerakan tersebut.
Seniman tradisional Tarling, Diana Sastra mengakui kebijakan pembatasan sosial menyebabkan para pekerja seni di daerah terpukul karena tidak bisa sama sekali menjalankan profesinya.
Untuk memanfaatkan media digital, ujar Diana, sebagian pekerja seni di daerah belum memiliki ketrampilan yang memadai.
Menyikapi kondisi tersebut, dalang Warseno, yang hadir sebagai peserta diskusi, berharap pemerintah hadir dalam membantu para pekerja seni untuk mengatasi sejumlah kendala yang dihadapi di masa pendemi ini.
Ketua DPP Partai NasDem Bidang UMKM, Entreprenuer Industri Fashion, Niluh Djelantik berpendapat, usaha mikro kecil dan menengah adalah real ekonomi saat ini. Karena sejumlah acara pertunjukan hilang, jelasnya, berdampak langsung terhadap UMKM.
Niluh menyarankan, perlu kesepakatan sejumlah pihak untuk disiplin menjalankan protokol kesehatan agar kegiatan pertunjukan atau aktivitas seni bisa dilakukan.
Dengan begitu, jelasnya, UMKM bisa menggeliat kembali.
Pada kesempatan yang sama, Pianis & Komponis, Ananda Sukarlan yang sedang berada di Labuhan Bajo, mengungkapkan, lemahnya infrastruktur kesenian di Indonesia.
Di Labuhan Bajo, Ananda kesulitan mendapatkan grand piano yang dibutuhkan untuk memproduksi konten kesenian.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai urusan kebudayaan di negeri ini memang belum mendapatkan penanganan yang serius dari pemerintah.
Hal itu terlihat dari berpindah-pindahnya posisi Ditjen Kebudayaan pada pemerintahan.
Ditjen Kebudayaan pernah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pernah juga di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan akhirnya dikembalikan lagi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kenyataan itu, tegas Saur, memperlihatkan negara tidak memiliki kebijakan yang tegas dan jelas terkait pengembangan kebudayaan di masa datang.*