Nagara Institute: Putusan-putusan MK Jadi Cambuk Bagi Penyelenggara dan Peserta Pilkada 2020
Sebagai contoh, lanjut Takim, yakni sengketa hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Selatan.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nagara Institute mengatakan bahwa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam berbagai sengketa Pilkada 2020 telah menjadi cambuk bagi penyelenggara dan peserta Pilkada.
Peneliti Nagara Institute, Takim menyebutkan bahwa MK sejauh ini telah memerintahkan sejumlah daerah untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) karena adanya indikasi kecurangan.
MK, kata dia, juga memerintahkan adanya penggantian kepengurusan penyelenggara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena disinyalir tidak bekerja secara profesional dan tidak netral.
Baca juga: Komisi II DPR: Hasil Evaluasi Pilkada 2020 Jadi Rekomendasi Penyelenggaraan Pemilu 2024
"Putusan-putusan MK saya kira merupakan cambuk bagi penyelenggara dan peserta yang seharusnya bisa menjaga netralitas dan profesionalitas dalam proses penyelenggaraan," ujar Takim saat konferensi pers virtual, Senin (11/4/2021).
Sebagai contoh, lanjut Takim, yakni sengketa hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Selatan.
Di mana dalam MK, dalam sengketa tersebut, memutuskan 827 TPS harus melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
MK sekaligus memutuskan penyelenggara di tingkat PPK dan KPPS, baik ketua dan seluruh anggotanya, untuk diganti.
Baca juga: Sengketa Pilkada Indragiri Hulu, MK Perintahkan KPU Gelar PSU di TPS 03 Desa Ringin
"MK memutuskan bahwa sebanyak 827 TPS itu dilaksanakan PSU, dan MK memutuskan bahwa penyelenggara di tingkat adhoc, baik PPK dan KPPS, anggota dan ketua, itu harus diganti,
diangkat yang baru," ujar Takim.
"Jadi putusan MK bukan mengangkat kembali, tapi melantik yang baru atau memilih PPK dan KPPS, ketua dan anggota yang baru," sambung dia.
Takim menyebutkan bahwa hal yang sama juga terjadi pada Pilgub Provinsi Jambi.
Di mana MK memutuskan adanya PSU pada 88 TPS, serta melakukan penggantian kepengurusan penyelenggara pilkada di tingkat PPK dan KPPS.
"Juga terjadi pada Pilgub Jambi. 88 TPS harus dilakukan PSU dan mengganti penyelenggara di tingkat PPK dan KKPS," ujar Takim.
Contoh lain yakni sengketa Pilbup Kabupaten Nabire, Papua.
Di mana MK memutuskan bahwa 501 TPS di Kabupaten Nabire harus melakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Keputusan tersebut didasari adanya temuan terkait kecurangan dalam Pilkada Nabire 2020.
Di mana MK menemukan bahwa jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk di Nabire.
"Kabupaten Nabire itu 501 TPS juga dilakukan PSU. Kabupaten Nabire terjadi PSU karena MK memutuskan bahwa ditemukan jumlah pemilih dalam DPT itu lebih besar dibanding jumlah penduduk," ujar Takim.
Berdasarkan catatan Nagara Institute, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nabire menggunakan DPT yang berjumlah 178 ribu.
Merujuk pada agregat kependudukan semester I, per 30 Juni 2020, jumlah penduduk Nabire hanya 172 ribu jiwa.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.