Sejarah Hari Pendidikan Nasional, Ini Tiga Ajaran Penting Ki Hajar Dewantara yang Terus Dilestarikan
Berikut ini penjelasan mengenai sejarah Hari Pendidikan Nasional beserta tiga ajaran penting dari Ki Hajar Dewantara bagi pendidikan Indonesia.
Penulis: Adya Ninggar P
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini sejarah Hari Pendidikan Nasional.
Hari Pendidikan Nasional diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya.
Ki Hadjar Dewantara merupakan Pahlawan Nasional yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei ini bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara.
Baca juga: Hardiknas, Ketua Komisi X DPR: Penggabungan Fungsi Ristek Jadi Tantangan Penyelenggaraan Pendidikan
Baca juga: Hardiknas 2021, Nadiem Dorong Pendidikan Indonesia Bangkit dari Kesulitan Akibat Pandemi Covid-19
Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2021 adalah 'Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar'.
Simak sejarah Hari Pendidikan Nasional dan tiga ajaran penting Ki Hajar Dewantara yang dikutip dari National Geographic Grid ID.
Sejarah Hari Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara yaitu setiap tanggal 2 Mei.
Ki Hadjar Dewantara merupakan Pahlawan Nasional yang dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia.
Sejarah Hari Pendidikan Nasional memang tak bisa dilepaskan dari sosok dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara, sang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ki Hadjar Dewantara yang memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat lahir dari keluarga ningrat di Yogyakarta, 2 Mei 1889.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Ia mengenyam pendidikan di STOVIA, namun tidak dapat menyelesaikannya karena sakit.
Akhirnya, Ia bekerja menjadi seorang wartawan di beberapa media surat kabar, seperti De Express, Utusan Hindia dan Kaum Muda.
Selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau kaum priyayi yang bisa mengenyam bangku pendidikan.