Beny Merasa Statusnya Tidak Jelas: 'Kami 75 Orang ini Masih Ngegantung'
Beny merasa posisinya saat ini masih digantung. Sebab, setelah keluarnya SK itu, ia belum mendapat arahan lebih lanjut dari pimpinannya.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK terus berlanjut. Nasib dari para pegawai itu termasuk penyidik senior Novel Baswedan, A Damanik, hingga Yudi Purnomo Harahap masih belum jelas.
Menurut Benydictus Siumlala, pegawai dari Direktorat Fungsional Dikyanmas KPK, tindakan pimpinan KPK menonaktifkan 75 pegawai melalui Surat Keputusan (SK) pimpinan KPK tertanggal 7 Mei 2021 itu tidak jelas.
"Intinya SK itu sama sekali tidak jelas. Kami diperintahkan menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung, namun tidak ada tindak lanjut. Kami ini akan dipecat, dididik, dites ulang, atau malah diputuskan melanggar kode etik, atau bagaimana? Tidak jelas," kata Beny yang merupakan satu dari 75 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status menjadi ASN.
"Kami ini akan tidak bekerja hingga kapan? Tidak jelas juga. Sementara kalau melihat rilis resmi jubir juga tidak jelas. Kami diperintahkan menyerahkan tugas dan 'tanggung jawab' sementara dikatakan juga bahwa hak dan 'tanggung jawab' kami masih berlaku aktif," tambah dia.
Beny merasa posisinya saat ini masih digantung. Sebab, setelah keluarnya SK itu, ia belum mendapat arahan lebih lanjut dari pimpinannya.
Termasuk apakah pada Senin (17/5/2021) ini ia tetap masuk kerja atau tidak.
"Ini juga belum jelas, sampai hari ini, kami 75 orang ini masih ngegantung," kata Beny.
Beny juga menilai rilis resmi yang dikeluarkan Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri tidak jelas. Ia bingung dengan diksi 'tanggung jawab' dalam rilis tersebut.
"Sementara kalau melihat rilis resmi jubir juga tidak jelas. Kami diperintahkan menyerahkan tugas dan 'tanggung jawab', sementara dikatakan juga bahwa hak dan 'tanggung jawab' kami masih berlaku aktif. Kami diperintahkan menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung, namun tidak ada tindak lanjut," kata Beny.
Sebelumnya Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengklaim bahwa KPK tetap menjamin hak 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos dalam TWK.
"Semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku," kata Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).
Ali menjelaskan, pegawai yang gagal tes sudah diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya ke atasannya masing-masing.
Baca juga: HARTA KEKAYAAN Sujanarko, Pegawai KPK Berprestasi yang Tak Lolos TWK, Total Rp 3,2 Miliar
Mereka tidak akan bekerja sampai dengan ada keputusan lanjutan.
"Pelaksanaan tugas pegawai yang bersangkutan untuk selanjutnya berdasarkan atas arahan atasan langsung yang ditunjuk," jelas Ali.
Meski begitu KPK ogah disebut menonaktifkan pegawainya. Menurut Ali, tindakan KPK dilakukan untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas.
"Agar tidak terkendala dan menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan," tandas Ali.
Banyak Kejanggalan
Terkait TWK yang dijalani para pegawai KPK, Beny menyebut ada banyak kejanggalan dalam TWK tersebut.
Kejanggalan pertama terkait sosialisasi TWK itu yang waktunya sangat pendek, yakni hanya sepekan sebelum tes digelar.
"Saya sampaikan dulu bahwa tes ini sebenarnya agak mendadak," ujar Beny dalam diskusi daring yang disiarkan langsung di channel YouTube Sahabat ICW, Minggu (16/5/2021).
"Jadi kami diberitahu itu kurang lebih hanya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Memang sebelumnya ada kayak desas-desus, kabar burung beredar di kantor itu bahwa akan ada tes. Tesnya bentuknya CPNS. Makanya banyak dari kami, dari teman-teman yang lain juga kemudian cari-cari contoh soal CPNS, TWK," tutur Beny.
Kejanggalan lain yakni e-mail kartu ujian yang masuk ke pegawai KPK dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) tanpa sepengetahun bagian SDM lembaga anti-rasuah.
"Ada e-mail masuk dari BKN, kami harus ngeprint kartu ujian. Tetapi kemudian ditarik kembali karena ternyata belum koordinasi dengan SDM KPK. Kemudian SDM mengirim e-mail susulan, memberitahu pegawai jangan diisi dulu. Keesokan harinya kayaknya sudah koordinasi, maka datang lagi e-mail yang baru dari BKN tentang kartu ujian yang sama. Lalu kami ngeprint kartunya," jelasnya.
Di kartu ujian tersebut, kata dia, tertulis tesnya adalah TWK. Namun kenyataannya tes yang dilakukan adalah tes Indeks Moderasi Bernegara.
"Jadi sampai kami ngeprint kartu tes pun belum tahu bahwa yang akan kita jalankan adalah tes Indeks Moderasi Bernegara yang sebenarnya biasanya dipakai TNI Angkatan Darat. Kamis masih tahunya itu adalah TWK," ucapnya.
Pada hari H, kata dia, ternyata soal yang diajukan sangat berbeda dengan contoh-contoh soal TWK untuk tes masuk CPNS yang banyak disajikan di internet.
"Yang kami alami kemudian di hari tes itu sama sekali berbeda dengan contoh-contoh latihan soal yang beredar. Dari situ baru tahu bahwa tesnya adalah Indeks Moderasi Bernegara. Sementara kalau kita googling tidak ada contoh soal Moderasi Bernegara," jelasnya.
Kemudian saat tes wawancara, kepada pegawai KPK yang perempuan muncul pertanyaan-pertanyaan yang dinilai tidak ada kaitannya dengan wawasan kebangsaan, seperti kenapa belum menikah dan lainnya.
Beny sendiri turut mendapat pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya tidak ada korelasinya sama sekali dengan wawasan kebangsaan.
Baca juga: Busyro Enggan Tanggapi Otak Sungsang Ngabalin soal TWK Pegawai KPK
"Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan kenapa belum menikah? Apakah masih punya hasrat atau tidak? Umur segini kenapa belum menikah? Apakah kamu tahu apa itu freesex? Dan pertanyaan lainya yang bagi sebagian dari kami itu sama sekali tidak menggambarkan wawasan kebangsaan," ujarnya.
Kejanggalan berikutnya, dia menjelaskan terjadi pada proses wawancara, yakni ada sebagian pegawai KPK diwawancarai dua penguji, sementara yang lain oleh satu orang.
"Ada sedikit ketika wawancara, sebagian dari kami diwawancara oleh dua orang, sementara sebagian besar lainnya diwawancarai satu orang. Kemudian setelah kita saling bertukar pengalaman dan data, ternyata sebagian besar yang diwawancarai dua orang ini tidak lulus. Walaupun ada juga yang diwawancara oleh satu orang tidak lulus. Tetapi persentasenya lebih besar yang tidak lulus berasal dari yang diwawancarai dua orang. Kemudian muncul pertanyaan kenapa ada satu orang dan dua orang," jelasnya.
Dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus itu, Beny mengaku mendapat informasi ada tujuh orang yang merupakan lulusan Akpol.
Ia merasa aneh dengan hal itu karena menurutnya tes macam ini seharusnya sudah dilakukan saat seleksi Akpol.
"Di dalam 75 orang itu ada 7 orang lulusan Akpol. Menurut saya aneh, masa mereka bisa lulus Akpol, tapi TWK enggak lulus. Kan enggak logis," kata Beny.
Beberapa nama lulusan Akpol tersebut yakni Novel Baswedan yang kemudian ia memilih mundur dari kepolisian dan berkarier di KPK, hingga Kasatgas Penyidik Andre Dedhy Nainggolan.
Sementara itu menyikapi polemik terhadap pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tidak lulus TWK itu, sebanyak 74 Guru Besar antikorupsi dari berbagai universitas di Indonesia meminta Ketua KPK Firli Bahuri memnbatalkan penonaktifkan terhadap 75 pegawai KPK itu.
Dalam rilis yang diterima Tribunnews.com pada Minggu (16/5/2021), para guru besar itu di antaranya Prof Emil Salim, Prof Azyumardi, dll, mengkritisi 4 poin yang tertuang di dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 salah satunya pegawai-pegawai dengan status TMS diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan.
Hal itu tentu saja tentu bertolak belakang dengan pemaknaan alih status, melainkan sudah masuk pada ranah pemberhentian oleh Pimpinan KPK.
Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala.
Secara garis besar, terdapat dua isu penting yang tertuang di dalam TWK, mulai dari pertentangan hukum sampai pada permasalahan etika publik.
Baca juga: Pegawai KPK Ungkap Sejumlah Kejanggalan dalam Pelaksanaan TWK, Pemberitahuan Tes Mendadak
Faktanya, menurut para Guru Besar Antikorupsi, TWK tersebut tidak disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat untuk melakukan alih status kepegawaian KPK.
"Bahkan, MK telah menegaskan di dalam putusan uji materi UU KPK bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK," tulis para guru besar.
Namun, aturan itu ternyata telah diabaikan begitu saja oleh pimpinan KPK dengan tetap memasukkan secara paksa konsep TWK ke dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
Tak hanya itu, substansi TWK juga memunculkan kecurigaan, khususnya dalam konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara.
Secara umum menurut pandangan mereka apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi.
Jadi, bagi mereka dapat disimpulkan bahwa TWK ini tidak tepat jika dijadikan syarat untuk mengangkat pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Sebab, semestinya proses alih status ini dapat berjalan langsung tanpa ada seleksi tertentu sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Apalagi, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan telah memiliki rekam jejak panjang dalam upaya penindakan maupun pencegahan korupsi.
Misalnya, dalam hal masa kerja, sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan bahkan tercatat sudah bergabung sejak lembaga antirasuah itu berdiri atau sekitar tahun 2003 lalu.
"Sederhananya, jika wawasan kebangsaan mereka diragukan mestinya dengan sendirinya akan tercermin di dalam kinerjanya selama ini, misalnya melakukan pelanggaran etik atau tidak taat terhadap perintah UU. Jadi, secara kasat mata terlihat bahwa ketidaklulusan mereka tidak sesuai dengan kinerja yang sudah diberikan selama ini," jelas para guru besar itu.
Pada konteks lain, terdapat pula permasalahan yang tak kalah serius di dalam proses alih status kepegawaian KPK. Dari sekian banyak pegawai yang diberhentikan, terdapat para Penyelidik dan Penyidik.
Hal ini tentu akan berimplikasi pada perkara yang sedang mereka tangani, mulai dari korupsi suap bansos di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, pengadaan KTP-Elektronik, dan suap mantan sekretaris Mahkamah Agung.
Baca juga: 74 Guru Besar Antikorupsi Sikapi TWK yang Berdampak Terhadap Dinonaktifkannya 75 Pegawai KPK
"Kami menilai bukan tidak mungkin pengusutan perkara-perkara tersebut akan melambat dan hal ini tentu merugikan rakyat selaku korban praktik korupsi dan pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini. Semestinya setiap pihak sadar bahwa citra pemberantasan korupsi Indonesia kian menurun. Hal itu terbukti dari temuan Transparency International yang memperlihatkan kemerosotan, baik peringkat maupun poin, Indonesia di dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 lalu," ujar para Guru Besar Antikorupsi tersebut.
Jika dikaitkan dengan kondisi KPK terkini, besar kemungkinan IPK Indonesia akan kembali menurun pada tahun selanjutnya. Satu dari sekian banyak faktor tentu merujuk pada arah politik hukum yang kian menjauh dari penguatan pemberantasan korupsi.
Terakhir, kata para guru besar itu, penting untuk diingat bahwa kehadiran KPK merupakan salah satu mandat reformasi yang menginginkan Indonesia bebas dari belenggu korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Untuk itu, segala bentuk pelemahan terhadap KPK, salah satunya adalah pemberhentian 75 pegawai yang disebutkan di atas tidak dapat dibenarkan dan mesti ditolak.(tribun network/ham/mal/dit/dod)