Firli Bahuri Diminta Turun Tahta Jadi Wakil Ketua KPK
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Firli Bahuri selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tahta menjadi Wakil Ketua KPK.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Firli Bahuri selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tahta menjadi Wakil Ketua KPK.
Hal ini disebabkan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK sebagai syarat alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Saya minta kepada Pak Firli mengundurkan diri dari Ketua KPK menjadi Wakil Ketua KPK saja, ketuanya diganti pimpinan yang lain," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangan tertulis, Selasa (18/5/2021).
Selain imbas TWK, Boyamin mengatakan bahwa Firli sudah terlalu banyak terlibat kontroversi selama setahun menjabat Ketua KPK, mulai dari kasus helikopter hingga tak kunjung tertangkapnya buronan kasus suap Harun Masiku.
"Karena bagaimanapun setahun menjabat kontroversi terus, mulai dari helikopter, terus ini juga TWK, kemudian Harun masiku belum. Itu semua kan bentuk kegagalan," katanya.
Tindak lanjut dari TWK yang menggagalkan puluhan pegawai KPK dianggap terlalu mengada-ada.
Tes ini dianggap sebagai upaya 'pembersihan' agar lembaga antirasuah lebih 'ramah' terhadap para koruptor.
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko mengatakan semua pegawai KPK yang hadir dan menyelesaikan asesmen TWK semestinya dianggap telah memenuhi kewajiban berdasarkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN, terutama pasal 5 ayat 4.
Pasal tersebut menyatakan KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) untuk melaksanakan TWK dan semua pegawai KPK diwajibkan mengikuti asesmen tersebut.
Baca juga: Busyro Muqoddas Tantang Firli Bahuri Undang Pimpinan KPK Lama untuk Bahas Polemik TWK
“Namun faktanya pimpinan justru menerbitkan SK 652 yang berdampak merugikan bagi pegawai. Sikap ini mencerminkan ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan yang semestinya tidak boleh terjadi di lembaga anti korupsi,” kata Sujanarko lewat keterangan tertulis, Selasa (18/5/2021).
Ia tidak pernah diberi tahu oleh pimpinan KPK, Biro SDM, dan Kepala Biro Hukum terkait konsekuensi yang dihadapi para pegawai, baik bagi yang lulus atau tidak.
Surat Keputusan Pimpinan Nomor 625 Tahun 2021 ditetapkan di Jakarta pada 7 Mei 2021.
SK 652 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri memuat empat poin dan dua poin utama adalah menetapkan nama pegawai yang tidak memenuhi syarat dan memerintahkan para pegawai itu menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan.
Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 sebetulnya tidak menyebutkan kewajiban hukum bagi pegawai yang lulus atau tidak.
Butir kedua SK 652 yang menyatakan penyerahan tugas dan tanggung jawab ke atasan dianggap tidak memiliki dasar hukum.
Menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan selama ini "merupakan prosedur penjatuhan hukuman yang umumnya dikenakan terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin dan etik.”
Atas dasar itu ia dan enam pegawai KPK lain yang juga tak lolos meminta Firli Bahuri mencabut SK tersebut.
Enam lainnya adalah Hotman Tambunan, Samuel Fajar, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Novariza, Benydictus S, dan Tri Artining Putri.
“Perhatian dan komitmen upaya pemberantasan korupsi semestinya menjadi prioritas bersama, karenanya proses alih status pegawai KPK seharusnya hanya ditujukan untuk penguatan upaya pemberantasan korupsi,” kata Sujanarko.