Begini Cara Sespri Edhy Prabowo Sembunyikan Transaksi Uang Dugaan Hasil Korupsi Ekspor Benur
"Apakah rekening saksi pernah dipinjam Amiril?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saksi bernama Achmad Syaihul Anam mengungkap cara Sekretaris Pribadi (sespri) Edhy Prabowo, Amiril Mukminin menyembunyikan transaksi yang diduga terkait aliran uang suap izin ekspor benur lobster (benur). Salah satunya dengan meminjam rekening bank milik orang lain.
Syaihal menyebut, dari tiga rekening miliknya, Amiril kerap memakai rekening di Bank BNI.
Cara yang digunakan Amiril terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggali keterangan Syaihul, pada sidang lanjutan kasus dugaan suap izin ekspor benur dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Apakah rekening saksi pernah dipinjam Amiril?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (25/5/2021).
"Ya pernah," jawab Syaihul Anam.
Baca juga: Saksi Dengar Sespri Edhy Prabowo Bicara Soal Pembelian Jam Tangan Mewah Rolex
Syaihal menyebut Amiril kerap memberinya sejumlah uang tunai, untuk disetor tunai.
Tahapannya, Amiril memberi uang ke Syaihal, kemudian Syaihal menyetorkan tunai ke rekening miliknya. Setelah uang masuk ke rekening, Syaihal lalu mentranfernya ke rekening milik Amiril.
"Kan bang Amiril ngasihnya cash. Jadi saya setor tunai," jelas Syaihal.
Berdasarkan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) jumlah uang yang disetor tunai untuk ditransfer ke rekening Amiril mencapai ratusan juta rupiah.
Rinciannya, transaksi setor tunai bank tanggal 10 Juli 2020 sebesar Rp50 juta atas keterangan Supri.
Pada 6 Agustus 2020 sebesar Rp100 juta atas nama Kusairi Rawi.
Pada 18 Juni Rp100 juta atas nama Hadi.
Pada 8 Oktober Rp50 juta atas nama Kusairi Rawi. Sehingga di total transaksi tersebut mencapai Rp300 juta.
"Bahwa sumber uang berasal Amiril Mukminin. Saya terima uang tunai lalu saya minta bantuan kepada supri, Staf Perizinan Agrimas, saudara Kusairi Rawi dan Hadi untuk memberitahukan ke Bank BNI di daerah Pasar Minggu dan Kalibata," ucap jaksa membacakan BAP dan dibenarkan Syaihal.
Tercatat pula transaksi yang dilakukan lewat rekening milik Syaihal ke sejumlah pihak. Antara lain Rp10 juta ke Fatma Tanjung Sari, Rp20 juta sebanyak dua kali ke Amri PT ACK, Rp10 juta ke Amri, serta 3 transaksi sebesar Rp20 juta masing - masing atas nama Ahmad Bahtiar PT ACK, dan 3 kali transaksi secara bertahap Rp50 juta atas nama Amri. Sehingga jika ditotal ada kegiadan transaksi mencapai Rp180 juta.
Baca juga: Mantan Sespri Edhy Prabowo Dicecar Jaksa soal Belanja Peralatan Rumah Tangga Ratusan Juta Rupiah
Syaihal mengaku tidak tahu menahu keterkaitan uang yang ditransfer ke Amri dan Bahtiar PT ACK. Ia hanya menerima informasi uang masuk.
Sedangkan uang Rp10 juta berasal dari Fatma Tanjung Sari adalah pengembalian uangnya sendiri.
Syaihal menyebut semua transaksi yang dilakukan sudah atas sepengetahuan Amiril.
"Semua transaksi atas pengetahuan Amiril?," tanya jaksa, dan diamini Syaihal.
Diketahui Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp25,7 milar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Penerimaan suap ini dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI), sekaligus pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobater untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.