ICW Nilai Pelantikan Pegawai KPK Menjadi ASN Merupakan Bentuk Arogansi Pimpinan KPK
ICW berpandangan pelantikan pegawai KPK menjadi ASN tersebut merupakan bentuk nyata dari arogansi Pimpinan KPK.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) turut menyoroti rencana pelantikan 1.721 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Selasa (1/6/2021) siang ini.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, pihaknya berpandangan pelantikan pegawai KPK menjadi ASN tersebut merupakan bentuk nyata dari arogansi Pimpinan KPK.
Sebab kata dia, banyak peraturan perundang-undangan yang dikesampingkan oleh pimpinan KPK dalam proses seleksi tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai menjadi ASN.
"Bagaimana tidak, sejumlah peraturan perundang-undangan: mulai dari UU 19/19 dan PP 41/20 ditabrak begitu saja. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi pun dihiraukan," kata Kurnia melalui keterangannya dikutip, Selasa (1/6/2021).
Baca juga: ICW Nilai 9 Indikator Pegawai KPK Merah Dirancang untuk Patuh kepada Pimpinan KPK
Bahkan kata Kurnia, perintah Presiden RI Joko Widodo juga sudah dihiraukan bahkan dianggap angin lalu oleh Pimpinan KPK.
Tak hanya itu kata dia, potret pelanggaran etika atas pertanyaan dalam soal TWK yang diajukan kepada sejumlah pegawai juga tidak direspon dengan baik.
ICW menurut Kurnia beranggapan kalau TWK tersebut hanya menjadi alat pimpinan KPK untuk kebutuhan lain di luar ranah KPK yang sejatinya memberantas korupsi.
"Melihat hal ini semakin jelas dan terang benderang bahwa TWK ini hanya sekadar dijadikan alat oleh Pimpinan KPK dan kelompok tertentu untuk kebutuhan agenda di luar lingkup pemberantasan korupsi," tuturnya.
Oleh karenanya, Kurnia mengatakan pihaknya akan mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan surat pengangkatan menjadi ASN untuk 75 pegawai yang telah dinyatakan tak lulus asesmen TWK.
"Atas dasar itu maka ICW mendesak agar Presiden segera mengeluarkan surat keputusan untuk mengangkat 75 pegawai yang sedianya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat untuk menjadi Aparatur Sipil Negara," tukasnya.
Sebelumnya diberitakan, beredar sembilan indikator penilaian kriteria 'merah' dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
TWK sendiri merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Sembilan indikator itu diketahui menjadi acuan 51 dari 75 pegawai tak lolos TWK yang dinilai tak bisa dibina alias tak lagi bisa bergabung dengan KPK.
Menanggapi hal itu ICW menyatakan, sembilan indikator merah itu merupakan upaya yang dirancang untuk mematuhi Ketua KPK Firli Bahuri.
"ICW berpandangan sembilan indikator tanda 'merah' kepada 51 pegawai KPK semakin menguatkan dugaan publik bahwa Tes Wawasan Kebangsaan ini memang didesain untuk menundukkan seluruh pegawai kepada Pimpinan KPK, terutama Firli Bahuri," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (1/6/2021).
Menurut dia, cara-cara seperti itu sangat bertolak belakang dengan nilai dan budaya yang dibangun di KPK.
"Betapa tidak, diantara 9 poin indikator tertera perihal penolakan atas pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK," kata Kurnia.
Dikatakan Kurnia, sebelumnya penting untuk ditegaskan bahwa Firli Bahuri memiliki rekam jejak buruk saat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK.
Jadi, lanjutnya, menjadi hal wajar jika sejumlah pegawai, atau bahkan masyarakat luas berbondong-bondong melancarkan kritik terhadap Firli Bahuri.
"Pertanyaan lanjutannya: apakah cara mengukur wawasan kebangsaan didasarkan atas penilaian terhadap Firli Bahuri semata? Jika benar, maka TWK ini hanya dijadikan langkah bersih-bersih," katanya
Di dalam sembilan indikator 'merah' itu terdapat pula poin terkait penolakan atas revisi UU KPK.
Kurnia menilai, dari hal tersebut terlihat bahwa panitia penyelenggara TWK ahistoris, sebab, sikap penolakan atas revisi UU KPK bukan merupakan sikap individu pegawai, melainkan kelembagaan KPK saat itu.
Bahkan, dilanjutkannya, KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo cs telah melayangkan surat untuk menolak pembahasan revisi UU KPK.
Tidak hanya itu, dituturkan Kurnia, saat draft UU KPK beredar, lembaga antirasuah itu secara terang benderang mengumumkan 26 poin kelemahan yang akan dialami oleh KPK pasca regulasi itu diundangkan.
Jika hal itu benar menjadi tolak ukur menilai wawasan kebangsaan, menurut Kurnia, maka sebagian besar masyarakat Indonesia, ratusan akademisi, puluhan guru besar, dan ribuan mahasiswa juga tidak memenuhi syarat sebagai warga negara yang memiliki wawasan kebangsaan.
"Maka dari itu, dengan kualitas penyelenggaraan yang sangat buruk seperti ini, maka tidak salah jika dikatakan penyelenggaraan TWK telah merugikan negara miliaran rupiah," imbuhnya.