Dinilai Berpotensi Mengganggu Kebebasan Pers, AJI Minta Pemerintah Hapus Pasal 281 RUU-KUHP
Pada point c dalam Pasal 281 RUU-KUHP, jika disahkan maka sangat berpotensi mengganggu kerja dari para wartawan.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Dewi Agustina
Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito menegaskan, salah satu point dari Pasal 281 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) berpotensi mengganggu kebebasan pers.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk menghapus point dari pasal tersebut guna mengedepankan tugas dari para wartawan.
"Makanya kami mendorong sebenarnya pasal-pasal dengan ketentuan seperti itu untuk dihapus baik di peraturan Mahkamah Agung (Perma), Surat Edaran Mahkamah Agung atau yang ada di RKHUP," kata Sasmito saat dihubungi Tribunnews, Selasa (8/6/2021).
Adapun dalam bunyi pasal tersebut yakni, setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Baca juga: AJI Nilai Isi Pasal 281 pada Draf RUU-KUHP Berpotensi Mengganggu Kebebasan Pers
Sasmito mengatakan, pada point c dalam Pasal 281 RUU-KUHP sebagaimana berbunyi di atas, jika disahkan maka sangat berpotensi mengganggu kerja dari para wartawan.
"Iya, kami menilai memang berpotensi mengganggu kerja-kerja teman-temen jurnalis, mengganggu kebebasan pers," katanya.
Dinilai mengganggu sebab dalam aturan tersebut para awak media yang meliput agenda persidangan harus senantiasa meminta izin terlebih dahulu kepada Majelis Hakim.
Adapun izin tersebut dilakukan untuk merekam, atau meliput jalannya persidangan di dalam ruang sidang.
Jika tidak, maka siapapun termasuk wartawan yang secara sengaja mengambil gambar persidangan, akan diancam hukuman denda Rp10 juta' atau pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
"Iya kalau misalkan itu (peliputan) harus sesuai dengan izin majelis hakim tentu kami menolak," ucapnya.
Sasmito juga mengatakan, pihaknya bersama rekan-rekan konstituen lainnya didampingi Dewan Pers juga selalu mengawal isu ini di DPR.
Baca juga: Wamenkumham: Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dalam Draf RUU KUHP Beda dengan yang Dicabut MK
"Kami juga sebenarnya ada di dewan pers, dengan teman-teman konstituen itu ada PWI terus mengawal isu ini di DPR, perkembangannya seperti apa," tegas Sasmito.
Kendati begitu, dirinya masih belum bisa berbicara lebih banyak terkait kandungan pasal tersebut.
Sebab, saat ini pihaknya bersama Dewan Pers masih memahami seluruh isi pasal yang ada di RUU-KUHP terbaru.
"Kami masih menyisir pasal-pasalnya karena jumlahnya banyak sekali, masih kita coba cek-cek lagi, apakah sama kaya yang dulu atau sudah ada perubahan lagi," imbuhnya.