Sidang Perkara Suap Ekspor Benur, Perusahaan Prabowo Subianto Disebut Menerima Transfer Rp 300 Juta
Dalam perkara ini, Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp 25,7 milar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mustakh A Rahman dihadirkan sebagai saksi fakta dalam persidangan lanjutan perkara suap ekspor benur yang menyeret nama eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan sejumlah nama lainnya.
Mustakh diketahui merupakan akuntan dan auditor forensik yang bekerja di KPK.
Dalam kesaksiannya, Mustakh menjelaskan bagaimana adanya aliran uang sejumlah Rp 24 miliar ke sejumlah perusahaan, termasuk ke salah satu perusahaan milik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Dalam dakwaan, uang dengan rincian Rp24.625.587.250 itu berasal dari PT Aero Citra Kargo (ACK) yang dikelola oleh Amiril Mukimin, Amri, dan Ahmad Bahtiar atas sepengetahuan Edhy.
"Transfer ke PT Gardatama Nusantara ini perusahan milik Prabwo Subianto ini sebesar Rp 300 juta," kata Mustakh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Sidang Perkara Edhy Prabowo Cs, Hakim Ubah Saksi Ahli dari JPU Jadi Saksi Fakta
Mustakh mengatakan uang tersebut mulanya ditarik tunai di bank kantor cabang Gambir sebesar Rp 4,7 miliar.
"Yang kedua, yang masih mengendap di saldo akhir Amri itu Rp 3,446 miliar," tambahnya.
Uang tersebut juga dilakukan untuk pembelian barang dengan cara penarikan tunai di rekening Ainul Faqih sebesar Rp 2,9 miliar.
Sebagai informasi, Ainul Faqih merupakan salah terdakwa kasus ini sekaligus staf istri Edhy Prabowo.
"Kemudian, penarikan tunai yang tidak teridentifikasi sebesar Rp1,969 miliar. Kemudian belanja atau poin of sell yang dilakukan selama periodeekunjungan di USA sebesar Rp873 juta.
Mustakh menambahkan adanya juga transfer kepada seseorang bernama Ismail sebesar Rp782 juta
"Kemudian transfer kepada Astra Internasional untuk pembelian mobil dari rekening Amri tau Bahtiar sebesar Rp543 juta," tambahnya.
Aliran uang Rp24 miliar tersebut juga teridentifikasi oleh Mustakh ke berbagai pihak yang tak disebutkan namanya, tapi dijumlah sebanyak 36 nomor rekening dengan total Rp40 juta.
"Kepada Husni Mubarok, Anggia Tesa Lonika, Firda Yusri dan lain-lain termasuk Sri Rejeki totalnya Rp502 juta kalau itu dijumlahkan," kata Mustakh.
Transfer dikatakan Mustakh juga teridentifikasi kepada Asep Abidun Suprianta sebesar Rp 500 juta.
Kemudian transfer kepada Teti Yumiati sebesar Rp450 juta.
Transfer Kusairi Rawi sebesar Rp 425 juta.
"Lalu belanja yang dilakukan dari rekening Amri atau Bahtiar di Adidas, Putri Duyung Ancol, kemudian hotel di Bali dan lain lain itu total sebesar Rp358 juta," tambahnya.
Tak berhenti sampai di sana, aliran uang tersebut disebutlan Mustakh mengalir kepada kepada Romail Sunggoro atau Anita Lin itu sebesar Rp340 juta.
"Kemudian tarik tunai dengan keterangan pembayaran gaji itu masih dari rekening Amri atau Ahmad Bahtiar di Kantor Cabang Utama Gambir itu sebesar Rp300 juta," ujarnya.
Terakhir, barulan Mustakh menyebut nama perusahaan Prabowo yang juga menerima transfer uang tersebut
"Transfer ke PT Gardatama Nusantara ini perusahan milik Prabowo Subianto ini sebesar Rp 300 juta. Kemudian transfer dengan nilai masing-masing sebesar kurang dari Rp 20 juta kepada 68 pihak. Kalau kita jumlahkan total Rp 299 juta," pungkasnya.
Dalam perkara ini, Edhy Prabowo didakwa menerima suap senilai Rp 25,7 milar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK.
Penerimaan suap ini dilakukan secara bertahap yang berkaitan dengan penetapan izin ekspor benih lobter atau benur tahun anggaran 2020.
Penerimaan suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui staf khususnya, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; Sekretaris Menteri KP, Amiril Mukminin; staf pribadi istri Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih dan Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PLI), sekaligus pemilik PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadhi Pranoto Loe.
Pemberian suap ini setelah Edhy Prabowo menerbitkan izin budidaya lobater untuk mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Ranjungan (Portunus spp) dari wilayah negara Republik Indonesia.
Pemberian suap juga bertujuan agar Edhy melalui anak buahnya Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bibit lobster perusahaan Suharjito dan eksportir lainnya.
Perbuatan Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan RI bertentangan dengan Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta bertentangan dengan sumpah jabatannya.
Edhy Prabowo didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.