Soal Pembatalan Haji 2021, Menag Yaqut: Pemerintah Lebih Menyayangi Keselamatan Jemaah Haji
Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pemerintah mempunyai pertimbangan membatalkan keberangkatan jemaah Haji 2021.
Penulis: Nuryanti
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pemerintah mempunyai pertimbangan membatalkan keberangkatan jemaah Haji 2021.
Kesehatan hingga keselamatan jemaah Haji menjadi pertimbangan utama pada masa pandemi Covid-19.
"Pemerintah satu-satunya pertimbangan utama itu bagaimana menjaga keamanan, kesehatan, keselamatan jemaah Haji, tidak ada yang lain," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (9/6/2021), dikutip dari YouTube Kompas TV.
"Kita lebih menyayangi jemaah Haji. Nyawa, keselamatan jemaah Haji," lanjutnya.
Baca juga: Tangis Calon Jemaah Haji Asal Rembang setelah 3 Kali Gagal Berangkat, Hanya Bisa Ikhlas dan Bersabar
Menag Yaqut mengungkapkan, sebelumnya pemerintah sudah menyiapkan keberangkatan jemaah Haji 2021.
Namun, pemerintah Arab Saudi belum memberikan kuota.
Selain itu, juga belum ada penandatanganan Nota Kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan Haji 2021.
"Sudah semua disiapkan, kita sudah siap 100 persen pemberangkatan. Yang di Saudi bagaimana?"
"Kita harus sign contract, macam-macam. Kita mau sign contract apa? kuotanya belum diberikan," katanya.
Baca juga: Anggito Abimanyu: Dana Haji Aman, Tak Ada Utang dan Tak Dipakai Untuk Biaya Infrastruktur
Tak hanya itu, penerbangan menuju ke Arab Saudi yang belum dibuka juga menjadi pertimbangan pemerintah dalam pembatalan tersebut.
"Ketika kontrak diberikan, kemudian waktunya mepet. Sementara penerbangan di-suspend (dihentikan sementara) ke sana," papar Yaqut.
Sebelumnya, Menag Yaqut menegaskan, keputusan pembatalan keberangkatan jemaah Haji 2021 sudah melalui kajian mendalam.
Kementerian Agama (Kemenag) sudah melakukan pembahasan dengan Komisi VIII DPR pada 2 Juni 2021.
Mencermati keselamatan jemaah haji, aspek teknis persiapan, dan kebijakan yang diambil oleh otoritas pemerintah Arab Saudi, Komisi VIII DPR dalam simpulan raker tersebut juga menyampaikan menghormati keputusan yang akan diambil pemerintah.
"Komisi VIII DPR dan Kemenag, bersama stakeholder lainnya akan bersinergi untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi publik yang baik dan masif mengenai kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1442 H/2021 M," ujarnya dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Kamis (3/6/2021).
Baca juga: Dubes Arab Saudi Luruskan Informasi soal Pembatalan Haji, Termasuk soal Penggunaan Vaksin
Kemenag juga telah melakukan serangkaian kajian bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan lembaga terkait lainnya.
Pemerintah menilai, pandemi Covid-19 yang masih melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah.
Menurutnya, agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan.
Ia menyebut, persiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya.
"Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi."
"Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.
"Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari," lanjut Menag.
Baca juga: Antrean Haji Makin Panjang, Kemenag: Itu Keniscayaan Tak Bisa Dihindari
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Saudi karena situasi pandemi.
Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.
Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal 2021, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam.
Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain."
"Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain," terang Menag.
(Tribunnews.com/Nuryanti)