Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Rencana Sembako Kena PPN dan PPN Naik Jadi 12 Persen, Ini Penjelasan Staf Khusus Sri Mulyani

Prastowo Yustinus memberi penjelasan soal rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sejumlah barang termasuk sembako

Penulis: Daryono
Editor: Whiesa Daniswara
zoom-in Soal Rencana Sembako Kena PPN dan PPN Naik Jadi 12 Persen, Ini Penjelasan Staf Khusus Sri Mulyani
TRIBUN JATENG/TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA
Harga kebutuhan pokok seperti sembako di Pasar Peterongan Semarang tidak menentu dan bisa berubah sesuai kebutuhan seperti harga telur ayam kini mengalami penurunan dari 26 ribu menjadi 22 ribu perkilonya, cabe rawit merah juga mengalami penurunan dari 60 ribu kini menjadi 40 ribu perkilo, untuk harga beras masih terpantau stabil sedangkan yang mengalami kenaikan adalah emping dari 50 ribu menjadi 60 ribu perkilo dan minyak goreng naik 1000 rupiah perkilonya, Selasa (27/4/21). (Tribun Jateng/Hermawan Handaka) 

TRIBUNNEWS.COM - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo memberi penjelasan soal rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sejumlah barang termasuk bahan pokok (sembako).

Diketahui, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (RUU KUP), sembako termasuk di antaranya beras dan gula konsumsi dihapus dari daftar barang yang dikecualkan dalam pemungutan PPN.

Selain itu, dalam RUU tersebut, besaran PPN juga dinaikan dari 10 persen menjadi 12 persen.

Atas hal ini, Yustinus Prastowo memberikan penjelasan di akun Twitternya. 

Yustinus Prastowo
Yustinus Prastowo (Ist via Kontan)

Di awal penjelasanya, Prastowo memahami reaksi masyarakat atas rencana kenaikan PPN dan pengenakan PPN terhadap sembako

"Wacana kenaikan tarif PPN mendapat respon cukup hangat. Ini hal positif karena kesadaran akan pentingnya pajak semakin tinggi. Pajak adalah pilar penyangga eksistensi negara. Saya perlu berbagi konteks yg lebih luas agar kita dapat mendudukkan semua wacana secara jernih. #utas

1. Saya bisa memaklumi reaksi spontan publik yg marah, kaget, kecewa, atau bingung. Eh, kenaikan tarif PPN berarti naiknya harga2 dong. Apalagi ini pemulihan ekonomi. Pemerintah sendiri struggle dg APBN yg bekerja keras, mosok mau bunuh diri? Begitu kira2 yg saya tangkap," tulisnya. 

Baca juga: Soal Wacana Pajak Sembako, Wakil Ketua Komisi XI DPR: Akan Memberikan Dampak Negatif

Berita Rekomendasi

Dijelaskannya, RUU KUP yang di antaranya isinya menaikkan PPN tidak akan diterapkan saat Pandemi. 

Namun, saat Pandemi adalah saat yang tepat untuk membahas RUU KUP. 

"2. Pemerintah, diwakili Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi, justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing

3. Maka pemerintah mengajak para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha dan DPR, utk bersama-sama memikirkan: jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dg pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak.," cuitnya. 

Prastowo kemudian mencontohkan negara-negara lain yang menerapkan kebijakan kenaikan pajak. 

Ia juga menyinggung soal pengenakan PPN untuk sembako

Berikut Tweet Prastowo selengkapnya: 

4. Nggak usah jauh2. Joe Biden sesaat setelah dilantik berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 21% ke 28%. Inggris juga berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 19% menjadi 23%. Banyak negara berpikir ini saat yg tepat utk memikirkan optimalisasi pajak utk sustainabilitas.

5. Di sisi PPN, negara2 juga memikirkan penataan ulang sistem PPN, antara lain melalui perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif. Ada 15 negara yg menyesuaikan tarif PPN utk membiayai penanganan pandemi. Rerata tarif PPN 127 negara adalah 15,4%. Kita sendiri masih 10%.

6. Sekilas info. Ini kinerja perpajakan kita. Meski 5 tahun terakhir secara nominal naik, tapi blm optimal utk membiayai banyak target belanja publik agar kita transform lbh cepat. Terlebih 2020, karena pandemi penerimaan pajak tergerus cukup dalam. Kita justru kasih insentif.

7. Lugasnya, karena pandemi ini pengeluaran meningkat cukup tajam. Di sisi lain penerimaan tersendat. Mumpung pandemi dan pajak diarahkan sbg stimulus, kita paralel pikirkan desain dan konsolidasi kebijakan yg menjamin sustainabilitas di masa mendatang. Pasca pandemi tentu saja.

8. Kita lakukan kajian dan benchmarking. Belajar dari pengalaman dan tren negara lain. Yang gagal ditinggal, yang baik dipetik. Ini ringkasan datanya: 24 negara tarif PPN-nya di atas 20%, 104 negara 11-20%, selebihnya beragam 10% ke bawah. Lalu Indonesia bagaimana melihat ini?

9. Di antara negara2 tsb, ternyata banyak juga negara yg menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dg adagium lama “semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil”, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil.

10. Dibanding negara2 ASEAN, kinerja perpajakan kita masih di bawah Thailand dan Singapura. Juga di bawah Afsel dan Argentina. Tentu saja ini tantangan: peluang dan ruang masih besar, maka perlu dipikirkan ulang mulai sekarang. Ini pertimbangan pentingnya.

11. Kenapa sih penerimaan PPN kita blm optimal? Ini salah satu jawabannya: terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Indonesia negara dg pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jd ruang penghindaran pajak.

12. Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yg mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas!

13. Pengaturan yg demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tdk tercapai: yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yg tdk dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya?

14. Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yg hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong.

15. Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya?Kembali ke awal, nggak ada yg tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati2an justru dibunuh sendiri. Mustahil!

16. Maka sekali lagi, ini saat yg tepat merancang dan memikirkan. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini. Saat ini pun barang hasil pertanian dikenai PPN 1%. Bbrp barang/jasa jg demikian skemanya agar ringan.

17. Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dg PPN (misal 1% atau 5%), dg bansos/subsidi yg diterima rumah tangga.

18. Mohon terus dikritik, diberi masukan, dan dikawal. Ini masih terus dikaji, dipertajam, dan disempurnakan. Pada waktunya akan dibahas dg DPR. Jika disetujui, pelaksanaannya memperhatikan momen pemulihan ekonomi. Kita bersiap utk masa depan yg lebih baik. Terima kasih, salam.

19. Ini saatnya kita duduk bareng, bicara terbuka, jernih, dan jujur: apa yang harus kita lakukan buat bangsa dan negara tercinta? Jika soal utang dicabik-cabik tiap hari, bukankah pajak harapan kita? Jika inipun tak mau, lantas dg apa Republik ini kita ongkosi? #selfnote

20. Lantas, dipakai buat apa saja sih uang pajak dan utang selama ini. Banyak banget, sampai saya nggak bisa ngitung dan nyebutin. Pajak adalah ongkos peradaban - Oliver Wendell Holmes Jr.

Baca juga: Pemerintah Mau Pajaki Sembako, Anggota DPR Akan Menolak Dianggap Bebani Rakyat

Anggota DPR Minta Pemerintah Batalkan PPN untuk Sembako

Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak mendesak pemerintah membatalkan rencana untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok (sembako).

Menurut Amin, kebijakan tersebut justru kontraproduktif dan menghambat pemulihan ekonomi rakyat yang sudah susah akibat pandemi Covid-19.

“Dimana-mana kalau resesi itu, pajak dikurangi jadi sekecil mungkin. PPN atas Sembako maupun kenaikan PPN lainnya akan semakin membebani rakyat,” kata Amin kepada wartawan, Kamis (10/6/2021).

Menurut Amin, rencana pemberlakuan PPN terhadap sembako sebesar 12 persen akan memperbesar pengeluaran masyarakat sehingga berdampak terpangkasnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Naiknya harga karena dikenakan PPN akan menurunkan daya beli masyarakat sehingga berdampak pada kesehatan, terutama anak-anak kalangan kelompok bawah akan kekurangan gizi.

Selain membebani rakyat dari sisi konsumen, lanjut Amin, kebijakan tersebut memberatkan para pedagang terutama jutaan pedagang kecil karena kesulitan untuk menjual barang dagangannya akibat kenaikan harga jika PPN diberlakukan.

Bagi perusahaan perdagangan maupun industri juga makin berat karena bisa dipastikan penjualan perusahaan akan turun.

Merujuk data dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) selama pandemi Covid-19, lebih dari 50 persen omzet pedagang pasar turun.

Belum lagi sejumlah barang kebutuhan yang mengalami fluktuasi harga, dengan dikenakan PPN maka harga-harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat otomatis akan makin naik dan mahal untuk dijangkau.

Kenaikan PPN terutama pemberlakuan PPN pada sembako, alih-alih meningkatkan perolehan pajak, justru menyebabkan pemulihan ekonomi akan semakin lambat.

Menurut Amin, pemerintah seharusnya konsisten untuk memulihkan perekonomian, antara lain dengan memberikan lebih banyak insentif agar konsumsi atau belanja masyarakat menengah meningkat.

Amin menilai kunci utama percepatan pemulihan ekonomi terletak pada tingkat konsumsi masyarakat.

Selain itu belanja konsumsi ini juga bisa membantu bisnis para pelaku UMKM untuk kembali pulih setelah terdampak pandemi Covid-19.

“Kebijakan pemerintah kok makin membingungkan. Pertumbuhan ekonomi ingin diatas 6 persen, tapi faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu tingkat konsumsi masyarakat, kok malah direcoki dengan pajak,” ujar Amin.

Baca juga: Cek Harga Mobil Toyota dengan Relaksasi PPnBM 50 Persen

Menurut Amin, jika kita ingin ekonomi tumbuh rata-rata di atas 6 persen, konsumsi rumah tangga harus tumbuh di atas 5,3 persen.

Jika kemudian sembako saja dipajaki, maka potensi konsumsi rumah tangga tumbuh tinggi pada 2022 bisa ambyar.

Masyarakat selama ini banyak yang menahan belanja atau konsumsi dengan harapan pandemi sudah selesai tahun depan, kalau kemudian pemerintah menaikkan PPN, hal itu bisa menghambat peningkatan konsumi masyakarat.

“Kenaikan PPN ini akan merembet kemana-mana termasuk kenaikan biaya untuk pariwisata dan traveling, serta konsumsi barang tahan lama seperti elektronik ataupun mobil dan rumah. Jelas ini kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi,” pungkas Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu.

(Tribunnews.com/Daryono/Chaerul Umam)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas