Bandingkan Tuntutan HRS dengan Sunda Empire, PPP Soroti Dugaan Disparitas dalam Tuntutan Perkara
Arsul Sani menyoroti dugaan disparitas dalam tuntutan perkara tidak pidana umum yang terjadi pasca dikeluarkannya Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 tahun 20
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
![Bandingkan Tuntutan HRS dengan Sunda Empire, PPP Soroti Dugaan Disparitas dalam Tuntutan Perkara](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/petinggi-sunda-empire-ki-agung-rangga-sasana-kompascomyustinus-wijaya-kusuma.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin beserta jajarannya, Senin (14/6/2021).
Dalam rapat itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani menyoroti dugaan disparitas dalam tuntutan perkara tidak pidana umum yang terjadi pasca dikeluarkannya Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Awalnya Arsul mengira pedoman tersebut akan mengubah kultur dimana JPU di lapangan dapat mengekspresikan kewenangannya dengan lebih baik.
"Namun saya lihat terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum, khususnya disparitas ini terjadi dalam perkara yang sering oleh publik dimaknai suatu berkaitan dengan kebebasan berekspresi, hak berdemokrasi," ujar Arsul, dalam rapat kerja dengan Jaksa Agung, Senin (14/6/2021).
Arsul kemudian mencontohkan disparitas itu terjadi dalam kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan kasus yang menjerat Sunda Empire.
Menurutnya, orang yang memiliki sikap kecenderungan berseberangan dengan pemerintah mendapatkan hukuman maksimal.
Baca juga: Rizieq Sebut Nama Ahok hingga Diaz Hendropriyono, Jaksa: Pledoi HRS Tak Berkaitan dengan Perkara
Sementara di kasus Sunda Empire -- dengan asumsi sikap politik yang tidak berseberangan dengan pemerintah-- Arsul menilai hukuman yang menjerat mereka tidaklah maksimal, meski dakwaannya serupa dengan orang yang berseberangan dengan pemerintah.
"Disparitas ini misalnya saya lihat yang sekarang prosesnya sedang berjalan misalnya dalam kasus Rizieq Shihab, dalam kasus Syahganda Nainggolan, dalam kasus kalau dulu Ratna Sarumpaet. Ini perkara ini dituntut maksimal 6 tahun, padahal saya lihat perkaranya yang didakwakan pasalnya sama kemudian dikaitkan dengan status penyertaannya pasal 55 itu juga sama, tapi tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang posisinya berseberangan dengan pemerintah atau yang berkuasa," jelas Arsul.
"Coba kita lihat kalau posisi politiknya tidak berseberangan dengan pemerintah, katakanlah soal petinggi Sunda Empire Nasriban, Ratna Ningrum, Ki Rangga Sasana itu tuntutannya 4 tahun," imbuhnya.
Wakil Ketua MPR RI itu pun meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan hal itu. Sebab, hal itu menimbulkan kesan Jaksa Agung menjadi alat kekuasaan. Dimana menegakkan hukum sebagai alat kekuasaan dan bukannya alat negara.
"Ini kemudian menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan Agung juga dalam tanda kutip 'tidak lagi murni menjadi alat negara yg melakukan penegakan hukum', tetapi juga menjadi 'alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum'," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.