Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wamenkumham: Hampir 76 Tahun Kita Hidup Menggunakan KUHP yang Tidak Pasti

Eddy mengatakan, ada perbedaan-perbedaan terjemahan yang sangat signifikan yang tidak pernah disadari antara kedua terjemahan tersebut.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Wamenkumham: Hampir 76 Tahun Kita Hidup Menggunakan KUHP yang Tidak Pasti
Ilham Rian/Tribunnews.com
Menkumham Yasonna Laoly pada acara perkenalan Wamenkumham Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, penyerahan SK CPNS, dan serah terima jabatan pimpinan tinggi Kemenkumham di Jakarta, Selasa (29/12/2020). (Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama Kemenkumham) 

Kemudian ia membandingkannya dengan Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo. 

Soesilo, lanjut dia, mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun. 

"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati, saru enam tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy 

Contoh lain, lanjut dia, ada pada pasal 362 KUHP yang berbunyi barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya punya orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum. 

Secara melawan hukum itu, kata dia, Moeljatno menerjemahkan kata yang dimaksud sebagai melawan hukum. 

Namun Soesilo, kata dia, menerjemahkannya bukan melawan hukum melainkan melawan hak. 

"Melawan hak termasuk di dalam melawan hukum. Tetapi melawan hukum tidak hanya melawan hak. Jadi, hal-hal kecil seperti ini itu menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.

Berita Rekomendasi

Dengan demikian, kata Eddy, jika kita menunda KUHP untuk disahkan berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin masyarakat tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti. 

Ia menlanjutkan, oleh sebab itu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Muladi, selalu menekankan bahwa di masa depan asas dan sistem hukum nasional harus disusun berdasarkan ide keseimbangan.

Ide keseimbangan tersebut, lanjut dia, mencakup keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara perlindungan korban dan individualisasi pidana, antara perbuatan dan sikap batin seseorang, antara kepastian hukum dan keadilan, dan antara nilai nasional dan internasional. 

"Oleh karena itu, politik hukum pidana nasional yang didasari pada keseimbangan-keseimbangan tersebut perlu diarahkan pada proses seleksi suatu perbuatan dalam artian melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan serta menyeleksi berbagai alternatif pemidanaan dan tujuan pemidanaan di masa depan," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas