UU KUHP Harus Segera Disahkan, Sudah Bikin 76 Tahun Rakyat Hidup dalam Ketidakpastian
Sejak kemerdekaan, KUHP warisan kolonial Belanda telah berkembang secara masif dan banyak menyimpang dari asas-asas hukum pidana.
Editor: Choirul Arifin
Dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, kata dia, itu berarti pidana mati. Kemudian ia membandingkannya dengan Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan oleh Soesilo.
Soesilo, lanjut dia, mengatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun.
"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati, saru enam tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," kata Eddy.
Contoh lain, lanjut dia, ada pada pasal 362 KUHP yang berbunyi “barang siapa mengambil barang sebagian atau seluruhnya punya orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan hukum.”
Secara melawan hukum itu, kata dia, Moeljatno menerjemahkan kata yang dimaksud sebagai melawan hukum. Namun Soesilo, kata dia, menerjemahkannya bukan melawan hukum melainkan melawan hak.
"Melawan hak termasuk di dalam melawan hukum. Tetapi melawan hukum tidak hanya melawan hak. Jadi, hal-hal kecil seperti ini itu menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.
Dengan demikian, kata Eddy, jika kita menunda KUHP untuk disahkan berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin masyarakat tetap berada dalam ketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti.
Pendapat Mahfud MD
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud pun mendorong agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru segera disepakati secara demokratis.
Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan perdebatan-perdebatan mengenai KUHP baru buatan anak bangsa tidak kunjung disepakati.
Pertama, kata dia, kemajemukan bangsa Indonesia yang menyebabkan akar-akar pikiran masyarakat Indonesia sering berbeda-beda dalam menyikapi suatu isu.
Ia mencontohkan, dalam hukum adat ada 19 lingkungan hukum adat yang setiap satu lingkungan hukumnya memiliki turunannya.
Di situlah, kata dia, proses agregasi untuk merumuskan apa yang disebut hukum nasional memang lama meskipun tetap harus diputuskan.
Kedua, kata dia, ada pertentangan yang hampir tidak pernah selesai antara universalisme dan partikularisme.