Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menakar Efektivitas PPKM Mikro di Tengah Keterisian RS di Pulau Jawa yang Mulai Mengkhawatirkan

Menakar efektivitas PPKM Mikro di tengah keterisian RS di Pulau Jawa yang mulai mengkhawatirkan.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in Menakar Efektivitas PPKM Mikro di Tengah Keterisian RS di Pulau Jawa yang Mulai Mengkhawatirkan
Tribun Jateng/Hermawan Handaka
Sejumlah tenaga medis sedang menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang penuh hingga sebagian pasien harus dirawat di selasar depan IGD RSUP Dr Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/6/2021). Kondisi tersebut juga terjadi pada sejumlah rumah sakit di Kota Semarang bersamaan dengan meningkatnya kasus Covid-19. Tribun Jateng/Hermawan Handaka 

TRIBUNNEWS.COM - Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-​19 Alexander Ginting menyampaikan terkait tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) di sejumlah provinsi di Pulau Jawa yang mulai mengkhawatirkan.

Ia tak menampik, lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi dalam beberapa hari terakhir membuat keterisian RS di sejumlah provinsi menjadi penuh.

Alex pun menyayangkan, lonjakan kasus Covid-19 membuat rata-rata kasus di Indonesia melebihi rata-rata dunia.

Baca juga: Anggota Komisi IX Minta Pemerintah Tak Kaku dengan PPKM Mikro

"Memang dalam 6 hari belakangan terjadi lompatan kasus yang cukup tinggi, bahkan melebihi rata2 dunia."

"Kasus aktif ini melompat dari 94 ribu jadi 134 ribu dan ada temuan BOR yang di atas 70 persen di 5 provinsi," kata Alex, dikutip dari Youtube Kompas TV, Selasa (22/6/2021).

Dikutip dari Kontan.co.id, terdapat lima provinsi dengan BOR melebihi 70 persen.

Yakni, DKI Jakarta (86 persen), Jawa Barat (84 persen), Jawa Tengah (82 persen), Banten (80 persen), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (79 persen).

Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-​19 Alexander Ginting
Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-​19 Alexander Ginting dalam tayangan Youtube Kompas TV, Selasa (22/6/2021).
BERITA TERKAIT

Sementara, di tingkat Kabupaten/Kota, terdapat 87 Kabupaten/Kota dengan tingkat BOR melebihi 70 persen, dan sebagian besar berada di Pulau Jawa.

Alex menuturkan, lonjakan kasus Covid-19 ini tidak semata-mata persoalan di hilir saja.

Menurutnya, persoalan kasus Covid-19 di hulu juga harus ditangani secara tepat.

"Persoalan yang kita hadapi sekarang bukan semata-mata di hilir, tapi di hulu."

"Di tingkat desa, kelurahan hingga RT/RW harus diselesaikan dengan melakukan 3M dan 3T."

"Sehingga pasien yang ringan sedang dan berat bisa diketahui dengan cepat, juga mereka yang kontak erat, yang terkonfirmasi dan yang bergejala bisa dipisahkan," ungkap Alex.

Untuk itu, Alex mengimbau agar masyarakat di hulu secara aktif dapat menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro.

Apabila masyarakat mematuhi imbauan PPKM mikro, Alex menilai, laju penularan Covid-19 di Indonesia bisa dikendalikan.

Wisatawan berfoto di area luar pagar Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (15/5/2021). Pada libur Lebaran 2021, Monas masih ditutup karena penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal itu membuat wisatawan kecewa lantaran terlanjur datang dan hanya bisa berfoto dari luar pagar. Tribunnews/Herudin
Wisatawan berfoto di area luar pagar Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (15/5/2021). Pada libur Lebaran 2021, Monas masih ditutup karena penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal itu membuat wisatawan kecewa lantaran terlanjur datang dan hanya bisa berfoto dari luar pagar. Tribunnews/Herudin (Tribunnews/Herudin)

"Di desa harus ada yang namanya karantina atau mikro lockdown di tingkat RT/RW, kalau ini berjalan dengan baik maka penularan itu bisa berkurang dan beban di rumah sakit juga akan berkurang," jelas Alex.

Lantas, benarkah PPKM Mikro efektif untuk menekan laju penularan Covid-19?

Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dr Windhu Purnomo menilai, Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro merupakan kebijakan yang tidak efektif.

Hal itu diungkapkan Windhu merespons kebijakan pemerintah yang memberlakukan penebalan PPKM Mikro 22 Juni hingga 5 Juli 2021.

Baca juga: Sebut PPKM Mikro Tak Efektif, Pakar Epidemiologi Sarankan PSBB Wilayah Aglomerasi

"Sudahlah, PPKM Mikro itu sudah terbukti tidak efektif, gagal. Kenapa sih kita nggak berani ngomong gagal? Gagal itu," ungkap Windhu saat dihubungi Tribunnews, Senin (21/6/2021) malam.

"Apa buktinya gagal? Buktinya ini (terjadinya) peningkatan kasus," sambungnya.

Windhu tidak setuju dengan adanya zonasi di tingkat bawah, seperti RT atau RW.

"Kalau dalam artian PPKM Mikro itu dalam pemberdayaan masyarakat, seperti kampung tangguh, itu oke, setuju."

"Tapi kalau pengertiannya di situ (penebalan PPKM Mikro) ada pengzonasian RT RW, itu ngawur," ungkapnya.

Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dr Windhu Purnomo.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dr Windhu Purnomo. (Istimewa)

PSBB Aglomerasi

Menurut Windhu, kebijakan PSBB wilayah aglomerasi lebih efektif dibanding PPKM Mikro.

"PPKM Mikro itu sudah gagal, mau ditebelin, mau digarisbawahin nggak ada gunanya, menurut saya lho ya."

"Seharusnya PSBB tingkat wilayah setingkat kabupaten/kota, lebih bener lagi pembatasan setingkat wilayah aglomerasi," ungkapnya.

Aglomerasi artinya gabungan dari sejumlah kabupaten/kota yang mana aktivitas masyarakatnya tidak bisa terlepas satu sama lain.

Sejumlah wilayah aglomerasi di Indonesia antara lain:

1. Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo

2. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek)

3. Bandung Raya

4. Semarang, Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi

5. Yogyakarta Raya

6. Solo Raya (Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen)

7. Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, dan Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusila)

8. Makassar, Sungguminasa, Takalar, dan Maros

"Seperti Surabaya, orang kerja di Surabaya berasal dari Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, dan sekitarnya."

"Seharusnya pembatasannya PSBB satu wilayah aglomerasi, di luar itu tidak bisa berpindah wilayah," ungkap Windhu.

Rendahnya Testing dan Tracing

Alasan Windhu tak setuju dengan pemberian zonasi wilayah secara mikro ialah testing dan tracing yang sangat rendah.

Sehingga, Windhu berpendapat jika kasus yang dilaporkan saat ini jauh di bawah kasus yang sebenarnya ada alias under recorder.

"Kasus di Indonesia itu sangat under recorded, hari ini rekor baru, dan tembus 2 juta (kasus), tapi apa cuma segitu sebetulnya?"

Baca juga: Update Corona Jakarta: 5.014 Kasus Baru dan Pembatasan 10 Titik

"Kalau diestimasi, Kemenkes punya data zero surveillance, didanai WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan dibantu temen-temen UI (Universitas Indonesia)."

"Saya juga ngitung dengan teknis estimasi, kasus yang dilaporkan paling tinggi 1/8 dari kasus yang sebetulnya," urai Windhu.

Windhu menyebut kasus yang dilaporkan bagaikan puncak gunung es.

"Seperti banyak bara di bawah sekam, jadi bom waktu karena penularan ada di bawah permukaan yang tidak terdeteksi," ungkapnya.

Windhu menyebut, tingkat tracing Indonesia berada di nomor 158 dari 220 negara.

Sehingga, menurut Windhu, tidak akan efektif melakukan zonasi berdasar data yang tidak sesuai dengan kenyataan karena rendahnya testing dan tracing.

"Di tengah tracing dan testing yang lemah sangat under recorded, apa yakin sebuah daerah warnanya hijau. Jangan-jangan hijau semangka (dalamnya merah)."

"Yang kuning jangan-jangan kuning delima, dalemnya merah," ungkap Windhu.

Berita penanganan covid lainnya

(Tribunnews.com/Maliana/Gilang Putranto, Kontan.co.id)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas