Indonesia Berpotensi Jadi Battleground, Modernisasi Alutsista TNI Mendesak
Indonesia memerlukan kekuatan pertahanan yang memadai dan kesiapan bertempur dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eskalasi konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut China Selatan (LCS) kian meluas. Indonesia dinilai berpeluang menjadi kawasan pertempuran (battleground) yang akan diapit oleh dua kepentingan tersebut.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darma Putra mengatakan, kemungkinan Indonesia akan menerima imbas dari panasnya AS dan China di LCS.
Tapi, menurut Rizal, Indonesia tidak dalam posisi siap untuk menghadapi ancaman tersebut.
"Kemungkinan terjadi spill over atau konflik di beberapa negara di Laut China Selatan dan kemudian bisa merembes ke wilayah Indonesia," tutur Rizal dalam webinar "Urgensi Modernisasi TNI", Jumat (25/6/2021).
Indonesia, kata dia, mau tidak mau akan terseret dalam konflik besar itu. Misalnya, untuk membendung rembesan konflik tersebut ke wilayah NKRI.
Karena itu, kata Rizal, Indonesia memerlukan kekuatan pertahanan yang memadai dan kesiapan bertempur dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Ia pun tidak sepakat dengan pernyataan pihak-pihak yang menyebut modernisasi alutsista tidak urgen karena saat ini masa damai dan anggapan bahwa tidak akan ada perang dalam waktu yang lama.
"Bilamana tidak ada modernisasi alutsista tentu kita tidak memiliki kesiapan tempur. Kesiapan tempur TNI akan merosot. Tanpa adanya suatu kesiapan tempur yang akan terjadi adalah pelanggaran kedaulatan dan penjarahan sumber daya," tuturnya.
Baca juga: Pengamat CSIS: Tak Bisa Ketengan, Pengadaan Alutsista Butuh Perencanaan Jangka Panjang
Sedangkan Pakar militer CSIS, Evan Laksmana berpandangan, kawasan Indo-Pasifik, termasuk konflik di Laut Cina Selatan, bakal semakin rumit ke depannya dan Indonesia berpeluang terkena imbasnya.
"Akan semakin banyak hotspot dan regional flash point dari yang sifatnya konvensiaonal maupun non-konvensional," ujarnya.
Di tengah situasi yang akan semakin memanas tersebut, ungkapnya, wilayah laut dan udara Indonesia menjadi kunci dan sangat penting karena merupakan jalur yang paling mudah untuk dicapai.
Ia mencontohkan ketika terjadi perang antara AS dengan China dan melibatkan Australia sebagai proxy.
"Jalur tercepat untuk menurunkan kekuatan militer masing-masing adalah melalui wilayah laut dan udara Indonesia," ucapnya.
Evan lantas mendorong adanya cetak biru (blueprint) alutsista jangka panjang pasca program Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) berakhir pada 2024. Sebab, kebijakan MEF tidak dirancang untuk masa depan.
"MEF tidak didesain untuk hadapi tantangan di masa depan, tapi lebih ke kebutuhan dasar (minimum). Sekarang harus mulai bergeser, yang terbesar adalah kawasan Indo-Pasifik," ucap Evan.