Anggota Komisi VIII Minta Perpres Soal Sanksi Denda bagi Penolak Vaksin Dicabut, Ini Alasannya
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf kritik langkah pemerintah memberikan sanksi denda kepada masyarakat yang menolak divaksin
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah pemerintah memberikan sanksi denda kepada masyarakat yang menolak divaksin menuai kritik.
Satu di antaranya datang dari Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf.
Bukhori menilai, kendati dalam situasi darurat, manajemen krisis oleh pemerintah tidak boleh mengabaikan aspek humanisme.
Baca juga: Percepatan Vaksinasi Mendesak, Ketua DPP PKS Sebut Kantornya Siap Jadi Tempat Pemberian Vaksin
Politikus PKS ini menambahkan, untuk mencapai kesadaran publik atas pentingnya vaksin bagi kesehatan sekaligus usaha pemulihan ekonomi nasional, pemerintah tidak sepatutnya pendek akal.
Apalagi sampai membahasakan pesan tersebut dengan narasi yang agresif.
“Pada hakikatnya, PKS akan mendukung setiap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi sepanjang mengutamakan keselamatan masyarakat dan dilakukan melalui cara-cara yang humanis. Terkait halnya sanksi denda bagi warga penolak vaksin, sangat disesalkan bahwa kami tidak melihat cara tersebut sebagai metode yang diilhami dari pikiran yang jernih,” ujar Bukhori, kepada wartawan, Kamis (1/7/2021).
“Masyarakat sudah depresi karena pandemi. Bansos saja dikorupsi. Kini, kembali dibebankan oleh sanksi denda hanya karena menolak vaksinasi? Sementara, vaksin itu bersifat pilihan karena itu hak,” imbuhnya.
Baca juga: Bertemu Dirjen WHO di Jenewa, Prabowo Bahas Penanganan Pandemi Covid-19 dan Keamanan Kesehatan
Bukhori menerangkan, dirinya bisa memahami niat baik pemerintah, yakni untuk segera membentuk herd immunity melalui aturan terbaru yakni Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa dia juga turut mencermati kondisi gejolak sosial dan psikologis masyarakat, utamanya kecemasan dari kelompok masyarakat yang masih ragu terhadap vaksin.
“Secara garis besar ada beberapa alasan utama dari warga yang masih diliputi rasa bimbang. Pertama, masih ada yang mempertanyakan simpang siur kehalalan vaksin. Kedua, soal efek samping serius dari vaksin mengingat ini menyangkut nyawa. Misalnya, beberapa negara di dunia telah melaporkan kasus pembekuan darah setelah vaksinasi sehingga secara fatal berakibat pada kematian. Ketiga, sejauh mana keamanan vaksin dan kepastian pertanggungjawaban pemerintah jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan,” paparnya.
Politikus dapil Jateng 1 ini mengungkap pernyataannya juga senada dengan hasil survei yang dilakukan oleh University of Maryland dan Facebook yang kemudian dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada 12 Mei 2021.
Hasil survei tersebut menyebutkan sejumlah alasan masyarakat yang ragu divaksin mulai dari urutan dengan persentase tertinggi.
Di antaranya sebanyak 49% karena alasan khawatir efek samping.
Kemudian sebanyak 35% dengan alasan menunggu dan melihat situasi aman, sementara sekitar 7% dengan alasan bertentangan dengan kepercayaan/agama.
Baca juga: Sedang Isolasi Mandiri Karena Positif Covid-19, Lansia di Tambora Nekat Bunuh Diri Pakai Celurit