Curhat Anggota DPR yang Tidak Diizinkan Interupsi di Rapat Paripurna
Sementara di sisi lain, Kementerian Luar Negeri mengaku tidak dapat mengambil kebijakan secara langsung.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat (FPD) Sartono Hutomo tak diizinkan menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna DPR RI ke-22 pada Selasa (6/7/2021).
Sartono yang meminta izin untuk interupsi tidak direspons oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang saat itu hendak menyampaikan pidato penutup rapat paripurna.
Saat dikonfirmasi, Sartono menyatakan FPD menyoroti terbukanya jalur masuk dari luar negeri ke Indonesia di saat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Baca juga: Harga Obat Ivermectin Dinaikkan dari Rp 74.000 Jadi Rp 475.000 Per Kotak, Polisi Tangkap Pelakunya
Menurutnya isu itu harus dibicarakan karena Indonesia justru sedang kewalahan menghadapi pandemi Covid-19.
"Terkait kasus masuknya TKA China di Sulawesi Selatan, lembaga-lembaga pemerintahan terkait malah saling lempar dan bukannya cepat merespons agar rakyat tenang dan paham," kata Sartono kepada wartawan.
"Kami mau interupsi. Tapi tidak diperkanankan pimpinan sidang. Salah satu yang penting akan kami sampaikan adalah masalah ini. Hemat kami, ini harus disampaikan dan rakyat perlu mendapat penjelasan," lanjut Sartono.
Menurutnya, penjelasan yang muncul terakhir membingungkan. Karena Kementerian Perhubungan mengatakan bukan kewenangannya untuk menutup gerbang internasional.
Sementara di sisi lain, Kementerian Luar Negeri mengaku tidak dapat mengambil kebijakan secara langsung.
"Kalau seperti ini terus, saling lempar tanggung jawab, bagaimana kita menjamin atau mencegah mutasi varian Covid-19 lainnya ke Tanah Air? Sekarang saja sudah mengerikan,‘’ kata Sartono.
"Kami minta, segeralah berkoordinasi tuh, Kemenlu dengan Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Kemenkes, Kemenhub, dan Gugus Tugas Covid-19. Tutup dulu dong pintu-pintu kedatangan internasional agar kemungkinan buruk masuknya virus varian baru dapat dihindari," imbuhnya.
Selain itu, FPD juga menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan perlu mengambil langkah baru untuk mempercepat target imunitas komunal dengan penggunaan vaksin dosis tunggal yang memiliki efikasi lebih tinggi.
Contohnya vaksin Johnson & Johnson.
"Kalau ada yang efikasinya tinggi, mengapa pakai yang rendah? Vaksin dosis tunggal dengan efikasi tinggi bisa menjadi alternatif agar lebih efisien baik dari aspek sumber daya, maupun waktu. Tujuannya agar kita lebih cepat mencapai target imunitas komunal," ucap Sartono.
Ditegaskan, percepatan vaksinasi mendesak karena kondisi sudah darurat.
"Perlu langkah luar biasa lah, atau extraordinary untuk menghadapi situasi ini," ucap anggota Komisi VII itu.
Lebih lanjut, Sartono mengingatkan masalah tingginya permintaan oksigen untuk kebutuhan medis. ‘
"Info yang kami dapat, dan kita bisa juga lihat sendiri ya fenomenanya, peningkatan permintaan oksigen mencapai lima kali lipat dari kondisi normal. Ada antrean panjang di mana-mana untuk mendapatkan oksigen. Ini harus dilacak, di mana masalahnya," ujarnya.
Menurut Sartono, rasio peruntukan oksigen bagi keperluan medis dan industri pada kondisi normal 40 banding 60.
Saat ini, rasio penggunaan oksigen menjadi 60 banding 40 antara kebutuhan medis dan kebutuhan industri.
"Jadi harusnya tidak sedemikian keteteran. Tapi faktanya, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan oksigen medis," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.