Kisah Penangkapan Dokter Lois karena Dianggap Sebar Hoaks Soal Covid-19
Dokter Lois salah diduga melanggar pasal tentang UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya menangkap dokter Lois usai memberi pernyataan dalam sebuah talkshow tentang ketidakpercayaannya pada virus Covid-19 yang ditayangkan sebuah stasiun televisi.
Polisi menangkap dokter Lois hari Minggu (11/7/2021) dan langsung dilimpahkan penanganannya kepada Bareskrim Polri. Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan memastikan dr Lois dilakukan pemeriksaan.
"Jadi masih mengamankan dulu, masih dalam pemeriksaan," kata Ahmad Ramadhan, Senin (12/7/2021).
Dokter Lois salah diduga melanggar pasal tentang UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Tak banyak informasi tentang profil dr Lois. Merujuk akun Facebooknya, Lois Owienn (dokter Lois), dr Lois tinggal di Jakarta.
Dalam biodatanya itu, ia menuliskan lulus dari jurusan kedokteran Universitas Kristen Indonesia pada 2000.Ia juga menuliskan keterangan anti aging medicine.
Baca juga: Polri Belum Berencana Periksa Kejiwaan Dokter Lois Owien
Hal ini tidak hanya tertulis di bio akun Facebooknya, tetapi juga tertulis di bio akun Twitternya, Lois Owien.
Untuk diketahui, anti aging medicine adalah cabang ilmu kedokteran dan kedokteran terapan yang berguna untuk mengobati penyebab penuaan dan bertujuan untuk mengurangi penyakit terkait usia.
Baca juga: Terancam 10 Tahun Bui, Dokter Lois Owien Dianggap Sebarkan Hoaks Hingga Buat Keoanaran di Masyarakat
Merujuk bio pada akun Twitternya itu, setelah lulus dari Universitas Kristen Indonesia, dr Lois melanjutkan pendidikannya dalam bidang anti aging medicine di Malaysia.
Bidang keilmuan tersebut belum diakui sebagai bidang keilmuan dokter spesialis, melainkan hanya setara S2 di Indonesia.
Aktif di Medsos, Covid-19 Itu Tidak Nyata
Dokter Lois getol selama ini kerap aktif di media sosial, menyampaikan Covid-19 tidaklah nyata. Pendapat-pendapatnya dimana ia tidak percaya Covid-19 sudah ia posting sejak tahun lalu.
Pegiat media sosial, dr Tirta Mandira Hudhi memastikan dr Lois dipastikan bukan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Baca juga: Begini Ekspresi Dokter Lois Owien Saat Keluar dari Ruang Pemeriksaan Polda Metro
"Ibu ini mengaku sebagai dokter. Setelah dikonfirmasi ke Ketua IDI Pusat, dr Daeng, dan saya konfirmasi ke Ketua MKEK, beliau mengatakan bahwa dr Lois tidak terdaftar di anggota IDI," kata dr Tirta.
Tirta menjelaskan, seluruh dokter di Indonesia harus tergabung dalam IDI.Oleh karena itu, ia mempertanyakan status dokter Lois.
Apalagi Surat Tanda Registrasi (STR) dr Lois juga disebut tidak aktif sejak 2017."Ibu Lois tidak menangani pasien pandemi, baik menjadi relawan ataupun praktik," bebernya.
"Ibu Lois sudah mendapatkan dokumentasi di berbagai laman media sosialnya sebelum dihapus, kedapatan menghina dan memaki, menggunakan kata kotor dan kasar kepada beberapa dokter," imbuhnya.
Kepastian dr Lois bukan anggota IDI juga dibenarkan oleh Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI), dr Pukovisa.
Dia mengatakan, status keanggotaan yang bersangkutan di IDI sudah kadaluarwarsa. "Memang sudah lama tidak aktif menjadi anggota IDI," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati membantah pernyataan dr Lois, interaksi obat menyebabkan kematian pada pasien Covid-19.
Menurutnya pernyataan tersebut tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujar Prof Zullies.
Prof Zullies menjelaskan, interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain yang bersifat sinergis, mengurangi efek obat lain (antagonis), atau bahkan meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.
"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," jelas Prof Zullies.
Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).
Bahkan satu penyakit terkadang bisa membutuhkan lebih dari satu obat, contohnya hipertensi.
Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.
"Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru," kata Prof Zullies.
Obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi. Tetapi interaksi obat ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah.
"Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat," tutur dia.
Prof Zullies mengatakan, Covid-19 adalah penyakit yang unik dikarenakan kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.Pada Covid-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin.
"Justru jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," kata Prof Zullies. (tribun network/igman/genik)