Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PKS Setuju Nomenklatur RUU Larangan Minuman Beralkohol Dipertahankan

Bukhori Yusuf bersikeras mempertahankan nomenklatur “Larangan Minuman Beralkohol” dalam draf RUU Larangan Minuman Beralkohol

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
zoom-in PKS Setuju Nomenklatur RUU Larangan Minuman Beralkohol Dipertahankan
Thinkstockphotos
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf bersikeras mempertahankan nomenklatur “Larangan Minuman Beralkohol” dalam draf RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol).

Menurutnya, meski terdapat frasa 'larangan', RUU tersebut tidak kaku terhadap unsur budaya maupun ritus keagamaan.

Baca juga: Perpres Larangan Investasi Miras Terbit, Fahira Idris: Semoga UU Minol Segera Menyusul

"Kami berpendapat, judul tetap dengan nomenklatur Larangan Minuman Beralkohol. Meskipun demikian, produk hukum ini tidak akan kaku terhadap unsur yang sifatnya budaya maupun ritus keagamaan. RUU Larangan Minol akan memperhatikan aspek sensitif secara cermat dan bijaksana," kata Bukhori dalam keterangannya, Jumat (16/7/2021).

Baca juga: Pimpinan DPD: Kita Sepakat UU Larangan Minol Akan Berdampak Positif Bagi Perekonomian Jangka Panjang

Ketua DPP PKS ini mengungkapkan kendati pengendalian telah dilakukan melalui sejumlah regulasi dan aksi, namun dalam realitasnya peredaran minuman beralkohol di lapangan relatif bebas sehingga menimbulkan ekses negatif di masyarakat.

Di sisi lain, Indonesia juga belum memiliki regulasi spesifik yang mengatur soal larangan minuman beralkohol.

Baca juga: Kata Pengamat Ekonomi, UU Larangan Minol Akan Berdampak Positif Bagi Perekonomian

"Jika dengan regulasi pengaturan minol eksisting pemerintah justru belum bisa meredam ekses dari minuman beralkohol, tetapi sebaliknya diatribusi dengan RUU yang cenderung bebas, maka sudah seharusnya kita menggunakan regulasi yang lebih ketat, yaitu larangan dengan tetap mengecualikan hal-hal yang sepatutnya dikecualikan," ujarnya.

Berita Rekomendasi

Dari sisi ekonomi, lanjut Bukhori, biaya sosial yang menjadi beban pemerintah dalam menangani korban akibat dampak minol jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan cukai dari minol.

Pandangan Bukhori senada dengan studi yang dilakukan oleh Montarat Thavorncharoensap pada 2009 menyebutkan beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB.

Jika menerapkan angka yang dipakai Amerika Serikat yakni 1,66 persen, sementara PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp 15.434 triliun, maka dengan mengalikan PDB Indonesia dengan 1,66 persen akan didapat beban ekonominya sebesar Rp 256 triliun.

Sementara, jika angka terendah yang dipakai adalah 0,45 persen, maka beban ekonominya senilai Rp 69 Triliun. Ironisnya, angka terendah ini tetap lebih tinggi dibandingkan penerimaan negara dari cukai minol yang hanya Rp 7,14 triliun.

Untuk diketahui, berdasarkan Laporan APBN KITA Kemenkeu (2017- September 2020), sumbangsih cukai minol hanya kurang dari 0,5 persen bagi APBN.

Dampak lain dari minuman beralkohol secara langsung turut berpengaruh pada kenaikan biaya di sejumlah aspek antara lain: kesehatan, kriminalitas dan penegakan hukum, kerusakan properti karena pengaruh kekerasan minol, jaminan sosial, dan lainnya.

Sementara, dampak tidak langsung dari minuman beralkohol antara lain: kematian bayi prematur, penurunan produktivitas masyarakat, biaya penahanan penjara, hingga risiko kehilangan pekerjaan dan pensiun dini akibat sakit.

Masih dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VIII ini juga menepis anggapan bahwa alasan PKS untuk bersikeras mempertahankan nomenklatur larangan dalam draf RUU Minol dibangun dari argumen yang ideologis.

"Data-data yang saya sampaikan adalah secuil dari banyaknya penelitian saintifik yang menunjukan bahwa minuman beralkohol pada dasarnya memiliki mudarat yang lebih besar ketimbang maslahatnya dalam berbagai aspek. Tidak ada subjektivitas dalam hal ini, hanya saja bila data-data yang ada mendekati presisi dengan kondisi realitas, maka anggapan subjektif tadi menjadi lemah. Sebab kami melihat isu ini secara objektif dalam perspektif yang multidimensional," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas