545 Dokter Meninggal karena Covid-19, IDI Khawatir Sektor Kesehatan Berpotensi Kolaps
Layanan rumah sakit (RS) di beberapa wilayah bahkan sudah runtuh secara fungsional (functional collapse).
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ganasnya pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir 1,5 tahun di Indonesia tak hanya berdampak terhadap masyarakat umum.
Para tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam penanangan para pasien yang terinfeksi virus corona sudah banyak yang gugur. Termasuk para dokter.
Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (ID) mencatat jumlah kematian dokter akibat terpapar virus corona sudah mencapai 545 orang.
Jumlah itu merupakan data sejak awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020 hingga Juli 2021.
"Jadi total kematian dokter telah mencapai 545 orang," kata Ketua Pelaksana Harian Mitigasi PB IDI, Mahesa Paranadipa dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Minggu (18/7/2021).
Mahesa khawatir sektor kesehatan semakin dekat dengan potensi kolaps mengingat dari 545 dokter yang meninggal itu, 114 dokter di antaranya wafat pada Juli 2021 ini.
Jumlah itu naik lebih dari 100 persen angka kematian dokter pada Juni.
Mahesa menyatakan layanan rumah sakit (RS) di beberapa wilayah bahkan sudah runtuh secara fungsional (functional collapse).
"Tim mitigasi dari data-data dokter memang kami mengkhawatirkan kita masuk ke potensi functional collaps, kalau melihat kematian dokter per Juli ini angkanya melebihi 100 persen dari Juni lalu, sebanyak 114 sejawat dokter," kata Mahesa.
"Ini data-data yang dilaporkan, jadi belum (termasuk) data-data yang belum dilaporkan. Sehingga angka kematian dokter di angka 545 sejawat yang wafat," imbuh dia.
Mahesa mengatakan kematian dokter paling banyak terjadi di Jawa Timur sebanyak 110 orang.
Provinsi ini diketahui sebagai salah satu wilayah yang menyumbang kenaikan kasus tertinggi di RI.
Baca juga: 545 Dokter Meninggal Akibat Covid-19 di Indonesia
Setelah Jatim, dokter yang meninggal tercatat paling banyak terjadi di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Sementara berdasarkan jenis kelamin, dokter yang wafat paling banyak laki-laki yakni 84 persen dan perempuan 16 persen.
"Untuk spesialiasi dokter yang wafat masih paling banyak dokter umum, diikuti spesialis kandungan, penyakit dalam, dokter bedah, dan anestesi. Memang pneumonologi tidak sebanyak yang lain tapi tetap menempati 7 besar," terang dia.
IDI turut mencatat data per 18 Juli 2021 ada 7.392 perawat yang terkonfirmasi positif Covid-19 dengan 445 perawat telah meninggal.
Selanjutnya ada 42 apoteker yang terjangkit Covid-19, 223 bidan, dan 25 tenaga laboratorium yang juga terjangkit virus Corona.
Mahesa menerangkan kondisi para dokter saat ini terus dipantau oleh IDI. Sebab mereka adalah tulang punggung dari penanganan corona.
Saat ini, ia mengakui apabila banyak nakes yang tak berujung fatal karena sudah divaksinasi.
Tetapi ia menekankan, lonjakan kasus corona yang terus menerus bisa menyebabkan kelelahan akut dan berujung membuat nakes tumbang, termasuk dokter.
"Jadi kami sudah berikan pedoman, cuma memang meski sudah divaksinasi suntikan kedua, lonjakan pasien yang cukup tinggi menyebabkan overwork yang kami khawatirkan tentu akan menimbulkan burn out. Ini yang menyebabkan imun nakes menurun walaupun memang di Kudus dan beberapa tempat memang membuktikan efektivitas vaksin karena tidak terlalu banyak (yang gugur). Namun dengan lonjakan terus menerus, tentu imun nakes turun atau mengalami permasalahan," tambahnya.
Oleh sebab itu, Mahesa pun meminta masyarakat untuk bekerja sama di hulu atau menjaga diri agar jangan sampai tertular.
Ia meminta warga untuk lebih disiplin prokes dan patuh terhadap kebijakan PPKM Darurat.
"Kami mohon komponen bangsa kerja sama dan bisa menopang nakes karena kita tidak tahu lonjakan sampai kapan kalau melihat ketidakdisiplinan masyarakat. Jadi mohon masyarakat jadikan pandemi ini pertarungan bersama," ujarnya.
Terkait functional collapse, Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi mengatakan functional collapse rumah sakit tak hanya dilihat dari angka kematian dokter.
Hal lain yang jadi sorotan IDI adalah kurangnya pasokan obat, alat kesehatan, hingga oksigen di beberapa wilayah.
"Kondisi-kondisi ini yang saya kira functional collapse-nya sudah terjadi, tapi kita tidak bisa mengatakan secara general," ungkapnya.
Adib mengatakan tingginya angka kematian dokter terjadi akibat lonjakan jumlah pertambahan kasus positif Covid-19 dari hari ke hari.
Apalagi rekor-rekor baru terus terjadi dalam beberapa hari terakhir dengan tertinggi mencapai 56 ribu kasus Covid-19 dalam sehari.
Baca juga: Strategi Pemerintah Hadapi Covid-19 Varian Delta, Tambah Tempat Tidur Hingga Rekrut Ribuan Dokter
Hal ini, kata Adib, membuat beban kerja dokter meningkat, sementara imunitas mereka melemah karena kelelahan. Bahkan, IDI mencatat ada sekitar 20 dari 86 dokter yang meninggal padahal sudah divaksin.
"Sampai sekarang masih kita update terkait masalah vaksinasinya, data komorbidnya, karena kita lihat pada Juni-Juli ini bahkan (jumlah kematian dokter) telah melebihi puncak di Januari lalu. Jadi banyak faktor yang kami analisa dengan tingginya kasus, overload kerjaan, ini semua menjadi salah satu faktor kematian," jelasnya.
Adib juga menilai potensi functional collapse terbuka karena beberapa daerah mengalami tingkat kewalahan yang tinggi.
"Contoh, kondisi di Kudus, Pati, Rembang, sekarang sudah lebih baik, jauh lebih baik dari bulan sebelumnya, cuma berpindah sekarang, overload-nya di mana? Semarang," imbuhnya.
Selain itu, ia melihat potensi functional collapse juga berasal dari keterbatasan obat-obatan, alat kesehatan, hingga oksigen di beberapa wilayah.
Begitu juga dengan fasilitas hingga tempat tidur di rumah sakit, di mana kini banyak pelayanan justru diberikan di tenda-tenda darurat di halaman rumah sakit.
"Kemudian masalah oksigen yang kurang dan sekarang ada laporan yang menyatakan begitu. Kemudian ada masalah obat dan alat kesehatan," terangnya.
Kendati sudah mulai functional collapse, Adib menilai Indonesia belum perlu 'mengimpor' dokter dari luar negeri. Yang perlu diimpor saat ini berupa obat-obatan, alat kesehatan, hingga oksigen.
"Sampai saat ini kita belum butuh dokter dari luar negeri, kita masih mampu, tinggal bagaimana pola pemberdayaannya temasuk maping kebutuhan di mana saja akan ditempatkan dan kualifikasi dan kompetensinya seperti itu. Yang kita butuhkan saat ini adalah obat, alat kesehatan, oksigen, jadi tiga hal itu yang perlu ada support dari luar, tapi untuk SDM mudah-mudahan kita masih bisa," jelasnya.(tribun network/fah/dod)