PSHK: DPR Terkesan Mengiyakan Apa Saja Kemauan Presiden Dalam Proses Pembentukan UU Selama Pandemi
Peneliti PSHK Nabila mengatakan proses legislasi yang berjalan akhir-akhir ini, menunjukkan kuatnya dominasi eksekutif dibandingkan legislatif.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai fungsi check and balances tidak dijalankan DPR RI dalam proses pembentukan Undang-Undang selama masa pandemi Covid-19 dalam satu tahun terakhir.
Peneliti PSHK Nabila mengatakan proses legislasi yang berjalan akhir-akhir ini, khususnya di masa pandemi menunjukkan kuatnya dominasi eksekutif dibandingkan legislatif.
Kondisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas partai politik di DPR, kata dia, berpotensi mengikis fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah.
Berdasarkan catatan PSHK, dari aspek kuantitas, DPR mengakhiri 2020 dengan capaian total 13 RUU.
Dari jumlah itu, hanya 3 RUU yang berasal dari daftar Prolegnas prioritas 2020 atau berkisar 8 persen dari 37 RUU yang ditargetkan.
Ketiganya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, RUU Bea Meterai, dan RUU Cipta Kerja.
Baca juga: PSHK Nilai DPR Tak Jalankan Fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan Secara Baik Selama Pandemi
Sementara itu, 10 RUU lainnya merupakan RUU dalam daftar kumulatif terbuka yaitu.
Hal tersebut disampaikan Nabila dalam Diskusi dan Peluncuran Catatan Tahunan Kinerja Legislasi DPR yang digelar secara daring pada Selasa (27/7/2021).
"Kita lihat tadi hampir semua Undang-Undang didominasi oleh usulan Presiden, dan DPR terkesan hanya mengiyakan apa saja kemauan dari Presiden. Dapat dikatakan fungsi kontrol dan penyeimbang tidak ada dalam pembentukan Undang-Undang di masa pandemi ini," kata Nabila.
Di tengah kuatnya konsolidasi presiden dan DPR tanpa adanya oposisi di parlemen, lanjut dia, nyaris setiap kebijakan legislasi yang kontroversial di masyarakat mulus sesuai kehendak politik pembentukannya, bukan sesuai pada kebutuhan dan kehendak masyarakat.
Dengan demikian, kata dia, masyarakat terpaksa menempuh jalur lain untuk memperjuangkan legislasi yang berkeadilan.
Baca juga: Komisi I DPR RI: Kominfo Tidak Perlu Buru-buru Soal Digitalisasi Televisi
Selain itu, kata dia, banyak pejabat eksekutif, bahkan presiden sendiri, dan anggota DPR selalu mengeluarkan pernyataan di publik untuk mengajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika keberatan.
"Jadi kayak buang badan ke kekuasaan Yudisial. Hal ini sangat disayangkan karena sistem pembentukan hukum di Indonesia adalah pembentukan hukum yang demokratis dengan melibatkan partisipasi publik," kata Nabila.
Praktik-praktik legislasi yang terjadi saat ini, menurutnya, biasanya digunakan pada sistem politik totaliter.
Baca juga: Aturan Makan di Tempat 20 Menit Saat PPKM Level 4, Anggota DPR Bilang Sulit Diawasi
Mengutip pakar politik Prof Miriam Budiardjo, lanjut dia, gagasan partisipasi masyarakat dalam sistem politiknya didasarkan pada pandangan elit politiknya, bahwa rakyat itu perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.
Dengan demikian, pembentukan Undang-Undang tidak perlu melibatkan masyarakat.
"Jadi masyarakat harus menumpu legislasi pada lembaga Yudisial yakni Mahkamah Konstitusi," kata Nabila.
Namun sayangnya, lanjutnya, preseden buruk revisi Undang-Undang KPK yang diloloskan oleh MK dari prosedur legislasi kembali memupus harapan masyarakat terhadap keadilan legislasi di Indonesia.
"Fungsi saling kontrol dan penyeimbang antara tiga cabang kekuasaan dalam pembentukan UU merupakan hal mutlak harus dilakukan di Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum dan demokrasi," kata Nabila.