Disomasi Moeldoko Terkait Tudingan Bisnis Ivermectin, Ini Respon ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) akhirnya memberikan respons atas somasi yang dilayangkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) akhirnya memberikan respons atas somasi yang dilayangkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
ICW sebelumnya menduga Moeldoko terlibat dalam bisnis Ivermectin.
Dalam penelitian yang dirilis ICW, Moeldoko disebut punya hubungan dengan PT Harsen Laboratories selaku produsen Ivermectin. Hal tersebut diklaim mengacu aksi Moeldoko yang mendorong penggunaan obat Ivermectin dalam penanganan pandemi COVID-19.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana memastikan, penelitian yang dihasilkan pihaknya merupakan bentuk dari fungsi pengawasan masyarakat terhadap jalannya proses pemerintahan, termasuk di dalamnya para pejabat publik.
"Dalam hal ini, kami memastikan bahwa penelitian yang dihasilkan oleh ICW adalah bagian dari fungsi pengawasan masyarakat terhadap jalannya proses pemerintahan, termasuk di dalamnya para pejabat publik," kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (30/7/2021).
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Somasi Moeldoko Terhadap ICW
Selain itu, kata Kurnia, penelitian semacam itu bukan pertama kalinya diterbitkan ICW.
Sejak ICW berdiri, ia berkata bahwa mandat organisasi memang sepenuhnya didedikasikan untuk memastikan penyelenggaraan pemerintahan terbebas dari praktik korupsi, kolusi, maupun nepotisme (KKN).
Moeldoko melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, menyampaikan bahwa dirinya akan mempertimbangkan langkah hukum untuk merespons tudingan ICW.
Namun, paling baru, ia justru menantang ICW untuk membuktikan tuduhan mereka.
Moeldoko memberi waktu 1×24 jam kepada ICW untuk menyampaikan bukti, terhitung sejak Kamis (29/7/2021).
Apabila dalam 1×24 jam ICW tak bisa memberikan pembuktian, ICW diminta mencabut pernyataan mereka dan meminta maaf secara terbuka.
Jika tak diindahkan, maka Moeldoko akan melaporkan ICW dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bila tidak mampu membuktikan tuduhan Moeldoko terlibat bisnis Ivermectin dan ekspor beras.
Tuduhan ICW, disebut pihak Moeldoko, termasuk dalam pencemaran nama baik dan fitnah.
Selain itu, mereka tidak menutup kemungkinan akan melaporkan ICW dengan Pasal 310 atau 311 KUHP.
Akan tetapi, Moeldoko meminta agar kasus tudingan Ivermectin lebih baik diselesaikan secara terbuka tanpa harus dibawa ke proses hukum.
Terkait somasi yang dilayangkan, Kurnia menuturkan, hingga saat ini ICW belum menerima somasi resmi dalam bentuk tertulis dari pihak Moeldoko.
"Jadi, kami tidak mengetahui poin-poin apa saja yang menjadi keberatan. Akan tetapi, kami juga menegaskan bahwa kerja-kerja pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pengawasan, tidak akan berhenti karena adanya isu ini," kata Kurnia.
Sebelumnya, ICW memaparkan hasil temuannya mengenai aktor di balik peredaran dan promosi obat Ivermectin sebagai terapi penanganan pasien COVID-19.
Salah satu temuan pentingnya yakni ada nama Moeldoko dan politikus PDIP yang terkait dengan PT Harsen, perusahaan farmasi yang memproduksi Ivermectin bermerek IvermaX12.
ICW melakukan riset terkait dugaan keterlibatan PT Harsen dengan KSP dan politikus PDIP pada rentang Juni hingga Juli 2021.
Ia mengumpulkan data dari akte perusahaan, pemberitaan media hingga ke media sosial.
ICW menduga ada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kehadiran Ivermectin.
Itu sebabnya, pemerintah hingga kini masih ngotot untuk menggunakan Ivermectin sebagai obat terapi COVID-19.
"Ivermectin kan saat ini sudah menjadi komoditas, tentu banyak orang yang ingin mencari keuntungan di situ. Diduga di balik keputusan pemerintah terdapat pengaruh bisnis yang kuat," kata Peneliti ICW Egi Primayogha ketika berbicara dalam diskusi virtual dengan topik "Berburu Rente di Tengah Krisis: Siapa di Balik Distribusi Ivermectin" pada Kamis (22/7/2021).
Apalagi, kini Ivermectin tengah diburu warga yang terpapar COVID-19. Padahal, itu adalah obat keras dan memiliki efek samping.
Maka, BPOM mewanti-wanti agar warga tidak sembarangan mengonsumsi obat tersebut.
Temuan lain Egi, yakni PT Harsen berdiri sejak 1971. Perusahaan tersebut bergerak di sektor farmasi.
Sebelum pandemik melanda, PT Harsen sudah menjalin kerja sama dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Indofarma.
"PT Indofarma mempromosikan obat-obat yang diproduksi oleh PT Harsen ke seluruh Indonesia lewat saluran pemasaran dan distrbusi INAF," ujarnya.