Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sosok Ali Sastroamidjojo Sang 'Eksekutor' Politik Bebas-Aktif dan Relevansinya Hari Ini

Ali Sastroamdijojo merupakan tokoh perjuangan yang pernah menduduki banyak jabatan dalam pemerintahan di awal-awal kemerdekaan Indonesia.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Sosok Ali Sastroamidjojo Sang 'Eksekutor' Politik Bebas-Aktif dan Relevansinya Hari Ini
perpusnas.go.id/ tribunnews.com
Ali Sastroamdijojo. 

Ali kemudian kembali ke tanah air dan aktif dalam pergerakan-pergerakan nasional dalam organisasi politik.

Masa Revolusi Kemerdekaan yaitu tahun 1945-1949, menurut Djoko, merupakan periode yang sangat penting dalam menjadikan Ali sebagai seorang pejuang republik.

Ketika itu, kata dia, Ali berjasa turut memenangkan Indonesia dalam politik diplomasi dengan pemerintah Belanda melalui perundingan Roem-Roijen, dan Perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar).

Perundingan KMB, lanjut dia, merupakan satu perundingan sangat penting pada Agustus 1949 sampai 2 November 1949.

Dalam perundingan yang dimenangkan Indonesia itu, kata dia, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Baca juga: Dukung Ali Sastroamidjojo Sebagai Pahlawan Nasional, Ganjar Pranowo Harap Bisa Terlaksana Agustus

Momentum tersebut kemudian menjadi titik awal Indonesia diakui oleh dunia internasional.

Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Ali Sastroamidjojo bertajuk "Peran dan Jasa Bapak Ali Sastroamidjojo Dalam Pemerintahan dan Diplomasi Indonesia" yang disiarkan di kanal Youtube BPPK Kemlu pada Jumat (30/7/2021).

BERITA REKOMENDASI

"Karena itu patut di sini dicatat Ali Sastroamidjojo sebagai seorang tokoh pejuang Republik Indonesia," kata Djoko.

Selain itu, kata dia, pada masa revolusi kemerdekaan sebetulnya Ali punya pengalaman-pengalaman penting termasuk ketika ibu kota Rerpublik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Selain itu, kata dia, pada masa perjuangan ibu kota Indonesia di Yogyakarta di masa agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember tahun 1948, Ali bersama Soekarno, Hatta, dan menteri-menteri lainnya di Gedung Agung Yogyakarta membiarkan dirinya untuk ditangkap serdadu Belanda yang kemudian dibawa terbang untuk dibuang di Pulau Bangka.

Pembiaran diri untuk ditangkap tersebut, lanjut dia, rupanya menjadi kesepakatan setelah mereka mengirim telegram kepada Syafruddin Prawiranegara untuk menjadi pimpinan dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.

Mereka, lanjut Djoko, membiarkan diri untuk menjadi satu siasat agar kebrutalan pemerintah Belanda terhadap Republik Indonesia diketahui dunia.

Siasat tersebut, kata dia, ternyata kemudian berhasil karena kemudian ketahuan oleh Komisi Tiga Negara yang setelahnya memaksa Belanda dan Indonesia supaya gencatan senjata untuk kemudian melakukan perundingan dengan syarat tawanan-tawanan politik harus dikembalikan dulu pulang ke Yogyakarta bersama pemerintah Republik Indonesia.

Baca juga: Wamenlu Dukung Usulan Ali Sastroamidjojo Sebagai Pahlawan Nasional

"Jadi ini satu strategi diplomasi yang sebenarnya menarik sekali dengan pengalaman Ali Sastroamidjojo pada saat itu," kata dia.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas