Alasan KPU Usulkan Penyederhanaan Surat Suara pada Pemilu 2024
Pemilih merasa tersulit dengan surat suara yang jumlahnya banyak. Diketahui, ada 5 pemilihan pada 2024, itu berarti akan ada 5 surat suara.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjelaskan soal alasan pihaknya ingin mengusulkan penyederhanaan surat suara pada Pemilu 2024.
Diketahui, pada Pemilu 2024 ada kemungkinan Pilpres, Pileg hingga Pilkada akan diselenggarakan serentak.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting melihat ada beberapa permasalahan-permasalahan yang timbul pada Pemilu 2019 lalu.
"Yang kemudian itu menyebabkan banyak petugas penyelenggara kelelahan secara fisik bahkan meninggal begitu ya. Ini membuat kita berpikir bagaimana KPU bisa menyederhanakan seluruh administrasi di penyelenggaraan, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi sehingga akan memudahkan pemilih dan penyelanggara pemilu," kata Evi dalam webinar Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Serentak dalam kanal Youtube Perludem, Minggu (1/8/2021).
Selain itu, Evi melanjutkan adanya kesulitan pemilih dalam memberikan suara sehingga tingginya hasil suara tidak sah.
"Untuk Pilpres saja 2,38 persen padahal Pilpres itu seharusnya lebih mudah karena ada gambar dan fotonya. Pilihannya juga tidak banyak dan sangat mudah dikenali," katanya.
Begitu juga soal DPD RI dan DPR RI, dikatakan Evi yang hasil suara tidak sahnya cukup tinggi, yakni sebesar 19,02 persen dan 14,12 persen.
Lebih lanjut, Evi menyebut bahwa pemilih merasa tersulit dengan surat suara yang jumlahnya banyak. Diketahui, ada 5 pemilihan pada 2024, itu berarti akan ada 5 surat suara.
Baca juga: KPU Belum Putuskan Akan Gunakan Surat Suara Model Apa untuk Pemilu 2024
Ini yang ingin dilakukan KPU agar pemilih diberikan kemudahan dalam memilih. Evi mengatakan isu Pilpres dalam pemilu cenderung lebih tinggi sehingga menyita perhatian publik.
"Ini memengaruhi dalam hasil pemilu yang kita dapatkan karena semua fokus pada Pilpres, jadi orang hanya mencoblos Pilpres. Di luar negeri bahkan ada yang tidak mengembalikan surat suara untuk DPR, karena disamakan Presiden dengan DPR, atau tidak sama sekali mencoblos DPR," katanya.
Yang terpenting juga, Evi bicara soal efesiensi waktu jika ada penyederhanaan surat suara.
"Karena kalau 5 surat suara, membukanya satu-satu, harus memperhatikan daftar calonnya, melipat lagi, lalu memasukkan ke kotak suara masing-masing," katanya.
"Tentu kita harap bisa melakukan efisiensi ya di dalam penggunaan kertas yang semakin berkurang kalau kita bisa kemudian menggabungkan dan penggunaan kotak suara yang jauh semakin berkurang," pungkas Evi.
Sementara itu, hasil survei Litbang Kompas menunjukkan terdapat 82,2 persen masyarakat setuju apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyederhanakan surat suara.
Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu mengatakan, hasil survei tersebut menjadi modal sosial KPU untuk melakukan penyederhanaan surat suara.
Baca juga: Harlah ke-23 PKB, Gus Muhaimin Targetkan Partai yang Dipimpinnya Menang Pemilu 2024
Jumlah tersebut didapatkan atas pertanyaan apakah setuju KPU membuka alternatif desain surat suara agar jumlah surat suara lebih sedikit.
"Ini modal sosial KPU untuk melakukan penyederhanaan karena publik ada keinginan yang sama agar surat suara tidak ribet dan lebih mudah digunakan," kata Yohan.
Atas pertanyaan yang sama, terdapat 13,4 persen yang menjawab tidak setuju dan 4,4 persen yang menjawab tidak tahu.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa terdapat 27,1 persen masyarakat yang mengaku kesulitan saat menerima lima kertas suara yang harus dicoblos di TPS pada Pemilu 2019.
Sementara yang tidak mengalami kesulitan terdapat 68,7 persen.
Khusus bagi responden yang memilih kesulitan, kata Yohan, pihaknya bertanya mengenai kesulitan apa saja yang dirasakan saat Pemilu 2019.
Hasilnya, terdapat 68,7 persen yang memilih sulit membedakan mana kertas suara untuk DPR, DPD, DPRD Provisi/Kabupaten/Kota.
Kemudian 82,7 persen memilih bingung mencari nama calon anggota legislatif yang akan dipilih karena terlalu banyak kertas suara.
Baca juga: Bawaslu & Kemensos Jajaki Kerja Sama Pelibatan Pendamping Sosial untuk Awasi Pemilu
"Dan ada 90,8 persen yang memilih bahwa waktu yang dibutuhkan terlalu lama di bilik suara karena kertas suara terlalu banyak dan lebar," kata Yohan.
Survei juga menunjukkan bahwa metode mencoblos tetap masih menjadi pilihan masyarakat.
Setidaknya ada 85,2 persen masyarakat yang memilih mencoblos kertas suara dan 12,6 persen mencontreng kertas suara.
Kemudian 86,7 persen masyarakat memilih mencoblos gambar dan 12,4 persen menulis angka nomor urut.
Menurut Yohan, mencoblos mendapatkan pilihan tertinggi karena masih dianggap sebagai teknik paling mudah.
"Ketika disuruh contreng atau coblos, mayoritas mencoblos. Jadi memang memori publik kita memilih di pemilu itu sama dengan mencoblos," kata dia.
"Ini pekerjaan rumah bagi KPU untuk mendesain surat suara, di satu sisi pemilih setuju di desain ulang tapi di sisi lain tetap ingin coblos," ucap Yohan.
Hal tersebut menyusul salah satu model dari 6 model yang dibuat KPU dalam penyederhanaan surat suara, terdapat surat suara yang tata cara pemilihannya dicoblos tetapi memiliki ruang yang sempit.
Menurutnya, ruang sempit tersebut berpotensi memperlebar surat suara tidak sah, padahal penyederhanaan untuk mengurangi surat suara tidak sah.
Adapun survei tersebut dilakukan Litbang Kompas pada 15-17 Juni 2021 dengan responden sebanyak 519 orang berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Tingkat kepercayaan pada survei ini adalah 95 persen dengan nirpencuplikan penelitian kurang lebih 4,30 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.(Tribun Network/den/kps/wly)