Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Calon Hakim Agung Brigjen TNI Tiarsen Ditanya Sejarah Hingga Aspek-aspek Hukum Humaniter

Padahal, kata dia, yang sebenarnya diatur dalam hukum humaniter adalah bagaimana agar perang dilakukan secara humanis.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Calon Hakim Agung Brigjen TNI Tiarsen Ditanya Sejarah Hingga Aspek-aspek Hukum Humaniter
istimewa
Calon Hakim Agung Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Ditkumad, Brigjen TNI Tiarsen Buaton, (kanan) dan Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai (kiri) dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Pidana Militer yang saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Ditkumad, Brigjen TNI Tiarsen Buaton, ditanya terkait sejarah hingga aspek-aspek dalam hukum humaniter.

Hal tersebut ditanyakan oleh Anggota Komisi Yudisial Amzulian Rifai karena melihat latar belakang Tiarsen.

Tiarsen menjelaskan hukum humaniter itu sebenarnya dulu merupakan hukum perang. 

Kemudian, kata dia, karena ada kata-kata perangnya maka hukum perang cenderung dianggap hanya terkait tindakan-tindakan kekerasan.

Padahal, kata dia, yang sebenarnya diatur dalam hukum humaniter adalah bagaimana agar perang dilakukan secara humanis.

Sehingga, lanjut dia, di tahun 70-an hukum perang berubah menjadi hukum humaniter atau humanitarian law untuk sedikit memperhalus.

Baca juga: Calon Hakim Agung Kamar Perdata Ini Beberkan 2 Hal yang Perlu Dibenahi MA

Berita Rekomendasi

Karena, kata dia, hukum tersebut mengatur perlindungan terhadap korban hingga penduduk sipil ketika perang.

Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-4 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Jumat (6/8/2021).

"Bukan pertempurannnya yang diutamakan di sana, tetapi bagaimana memberikan perlindungan terhadap korban-korban perang, penduduk sipil, tawanan perang, itu yang diatur dalam hukum humaniter," kata Tiarsen.

Sedangkan hukum militer, kata dia, mencakup di dalamnya hukum humaniter.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) misalnya, kata dia, juga diatur bagaimana tindakan-tindakan militer atau kejahatan-kejahatan yang dilarang dalam perang.

"Maka hukum humaniter itu ya merupakan hukum yang harus diketahui oleh prajurit," kata dia.

Ia menjelaskan saat ini hukum humaniter merupakan hukum yang wajib dipelajari oleh setiap prajurit.

Di setiap jenjang pendidikan baik Tamtama, Bintara, Perwira, dan di setiap pendidikan kejuruan ada tahapan-tahapan pendidikan atau pengajaran hukum humaniter.

Baca juga: Calon Hakim Agung Brigjen Slamet Sarwo Edy Ditanya Soal Tingginya Kasus Narkotika di Lingkungan TNI 

"Selain itu sebelum berangkat ke daerah operasi itu prajurit kita, kita berikan pembekalan hukum humaniter. Dan biasanya kita selalu kerja sama dengan ICRC atau Palang Merah Internasional," kata dia.

Amzulian kemudian meminta Tiarsen menjelaskan aspek-aspek di dalam hukum humaniter.

Tiarsen menjelaskan di dalam hukum humaniter ada prinsip kepentingan militer.

Artinya, kata dia, aspek tersebut harus ada antara lain dalam rangka mendapatkan kepentingan militer di dalam perang.

Selain itu, kata dia, ada juga prinsip kemanusiaan. 

"Dalam rangka melakukan serangan itu ya harus diperhatikan dari segi kemanusiannya karena ada pepatah mengatakan berperang itu bukan membunuh sebanyak-banyaknya tetapi bagaimana pertempuran itu dilakukan secara cepat tanpa mengorbankan korban yang besar," kata dia.

Selanjutnya, kata dia, prinsip proporsionalitas. 

Ia mencontohkan jika ada 10 orang musuh di depan sementara di dalam kelompok itu ada tujuh penduduk sipil dan tiga kombatan maka tidak boleh dibunuh semua karena targetnya hanya tiga kombatan.

"Kalau kita serang itu, kita bunuh semua, itu berarti tidak proporsional dan tidak profesional karena sebenarnya kita targetnya hanya tiga," kata dia. Tetapi kalau dari penduduk sipil ada satu atau katakanlah dari 10 itu, ada tujuh tadi, ada dua (yang terbunuh) itu masih dianggap proporsional. Tetapi kalau kebalikannya menjadi tidak proporsional," kata dia.

Prinsip berikutnya, lanjut dia, adalah prinsip pembatasan yang artinya dibatasi secara alat dan cara. 

Dalam perang, kata dia, tidak semua cara diperbolehkan.

"Ya ada istilah perfidy, ada ruses of war. Perfidy itu tindakan curang. Misalnya kalau intelijen menggunakan pakaian sipil ketika dalam perang maka itu dianggap perfidy. Tapi kalau menggunakan pakaian militer dia berhasil menyusup ya dia bisa melakukan itu," kata Tiarsen.

Amzulian kemudian mengatakan jawaban tersebut sudah benar namun ada satu yang tertinggal yakni aspek rule of engagement atau aturan pelibatan. 

Tiarsen kemudian meminta waktu untuk menjelaskan rule of engagement.

Hal itu karena, kata dia, ia salah satu yang menyusun rule of engagement di Mabes TNI.

Namun demikian Amzulian memotongnya dan mengatakan bahwa ia senang karena telah bertanya kepada orang yang tepat.

Namun demikian karena waktu terbatas ia hanya bisa melontarkan satu pertanyaan lagi terkait hukum humaniter yakni konsep belligerence.

Tiarsen berpendapat belligerence adalah angkatan bersenjata suatu negara atau orang sipil yang dipersenjatai yang dilibatkan dalam angkatan bersenjata.

Namun karena waktu sudah habis, Amzulian memotong dan mengatakan bahwa belligerence yang dimaksudnya adalah pemberontak.

"Baik waktu saya habis. Mungkin ada satu yang kelupaan, belligerence itu kan ada syarat-syaratnya ya. Itu belum tentara suatu negara, pemberontak itu, tapi ada syaratnya untuk disebut belligerence. Terima kasih, Pak atas jawaban-jawabannya," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas