Yakaafi Kembangkan Wakaf Produktif untuk Bantu Kemandirian Pesantren
Namun, pengertian wakaf produktif tampaknya masih belum begitu populer di Indonesia, negeri dengan populasi muslim terbesar dunia.
Penulis: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Yayasan Amal Wakaf Indonesia (Yakaafi) terus bergerak membuat program pemberdayaan pesantren di tengah pandemi Covid-19.
Wakaf sebagaimana diketahui adalah salah satu instrumen penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat muslim yang sudah dikenal dan dikembangkan selama ratusan tahun.
Namun, pengertian wakaf produktif tampaknya masih belum begitu populer di Indonesia, negeri dengan populasi muslim terbesar dunia.
Untuk itu, Yakaafi memulai gerakan wakaf produktif yang dimulai dari komunitas paling terdepan dalam dunia pendidikan Islam yakni pesantren.
Dimotori oleh Agus Maulana, seorang pengusaha otomotif asal Subang, Jawa Barat, Yakaafi berusaha menggerakkan wakaf produktif berbasis potensi bisnis yang dimiliki oleh pesantren.
Salah satu objek pemberdayaan wakaf produktif dilakukan di Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Falah di Cimenteng, Subang, Jawa Barat.
Di tengah pandemi ini, pesantren tersebut tak bisa bergantung dari iuran belajar para santri. Namun karena di sana terdapat unit usaha pertanian, maka ada uang masuk yang dihasilkan dari usaha tersebut.
Unit usaha pertanian tadi merupakan bagian dari realisasi program pemberdayaan Yakaafi. Agus menceritakan, dulu pesantren tersebut hanya memiliki tujuh santri.
Saat itu, Agus Maulana, menjadi pembina di ponpes yang berdiri di atas lahan seluas 1.800 meter persegi di tengah hutan itu.
Bantuan mendanai pendirian asrama dengan bahan dasar material kayu sudah diberikan beberapa kali.
Pesantren ini memang perlu bantuan dana pembangunan tetapi tidak bisa terus-menerus diberikan.
Karena itu, dana bantuan yang digelontorkan harus diproduktifkan. Beberapa tahun berikutnya, ia kembali berniat membantu Ponpes dengan syarat sudah berstatus wakaf.
"Syaratnya harus diwakafkan secara ikrar wakaf. Karena belum, kita benahi dulu hukum legal formalnya. Dari situ dibentuk yayasan kemudian diikrarkan sebagai wakaf. Setelah itu digulirkan program perluasan tanah," kata Agus Maulana.
Kini total luas lahan Ponpes sudah 21 ribu meter persegi alias dua hektare lebih. Gedung Ponpes secara bertahap dibangun.
Santrinya sekarang telah mencapai 200 orang. Keuangan Ponpes pun tidak lagi defisit dan menjadi cenderung seimbang antara iuran santri dan dana operasional pesantren.
Untuk mencapai tahap itu, Agus menyerahkan dana wakaf kepada para pengusaha yang amanah.
Dengan begitu, selain pengusaha terbantu meningkatkan omzet, dana wakaf pun menjadi produktif.
Sejauh ini, Ponpes Darul Falah telah menerima suntikan dana bagi hasil dari tiga unit usaha. Di antaranya, dari usaha pabrik sepatu, bengkel, dan asesoris motor.
Agrobisnis di lahan lingkungan Ponpes juga diterapkan. Sebagian lahan ditanami berbagai jenis tanaman seperti lengkuas, terong, dan sejenisnya. Setelah panen, ini semua akan dijual ke pasar.
"Alhamdulillah ini sudah berjalan. Dengan pemasukan ini keuangan pesantren jadi berimbang. Syukur-syukur jadi surplus," katanya.
Dari satu pesantren itulah, Agus tergerak untuk memperluas manfaat wakaf produktif ke pesantren lain.
Kemudian dia bersama beberapa rekannya membentuk Yakaafi. Agus sebagai ketua dewan pembina Yayasan, sedangkan salah satu rekannya, Asep Hendra, sebagai direktur operasional. "Yang kita fokuskan adalah wakaf produktif itu," tutur dia.
Agus menjelaskan, ada dua pola yang digunakan Yakaafi untuk membantu pesantren-pesantren yang belum mandiri secara ekonomi.
Pertama, dana wakaf yang telah dihimpun diserahkan kepada pebisnis yang amanah dan ingin membantu. Setelah ada selisih keuntungan dari dana yang diwakafkan itu, barulah disalurkan ke pesantren yang memang membutuhkan. "Jadi wakafnya sekali, hasilnya berkali-kali, mengalir setiap bulan," katanya.
Pola kedua yaitu dengan menggali potensi pesantren. Setiap pesantren memiliki potensi dan karakternya masing-masing berdasarkan letak geografis.
Yakaafi ikut berupaya menemukan bisnis yang cocok dijalankan oleh suatu pesantren berdasarkan potensi yang dimiliki. Setelah ketemu, kemudian mencari orang yang tepat untuk mengelola bisnis tersebut.
"Makanya, sejak awal, pesantren-pesantren itu dibimbing untuk belajar membuat bussiness plan. Kemudian dananya kita gulirkan, kita awasi, monitor. Jadi manfaatnya, pertama, mereka dibimbing untuk belajar bisnis, jadi tidak dilepas supaya terus berjalan. Kedua, kita juga berikan modal dari dana wakaf," tuturnya.
Pada pola kedua ini, pesantren telah diingatkan di awal bahwa pada akhirnya dana wakaf yang dikucurkan ini harus kembali ke yayasan sehingga manfaatnya juga bisa dirasakan pesantren-pesantren yang lain.
"Kalau mereka mengajukan lagi, kita kasih lagi setelah melalui proses verifikasi dari tim kita," paparnya.
Beberapa pesantren telah menerima manfaat dari dana wakaf yang digulirkan oleh Yakaafi. Di antaranya, Ponpes Darul Inayah di Parongpong Kabupaten Bandung Barat, Ponpes Al-Wusto di Panembong Subang, Ponpes Tahfiz Qur'an di Purwarkarta, dan Pondok Modern Darul Falah.
Ponpes Darul Inayah punya potensi pada penjualan aneka jenis bunga yang dibutuhkan untuk pernikahan. Ponpes Al-Wusto, menerima manfaat berupa mesin giling padi.
Awalnya Ponpes tersebut mengajukan bisnis cuci motor, tetapi karena dipandang kurang menguntungkan, maka diputuskan diganti dengan bisnis jasa penggilingan padi.
"Karena di pelosok, saya nilai investasi tersebut tidak seimbang. Kemudian mereka (Ponpes Al-Wusto) mengajukan lagi mesin giling padi. Nah ini potensinya besar, karena banyak yang menggiling padi saat panen, dan akhirnya kita sepakat. Alhamdulillah jalan," tutur dia.
Sedangkan Ponpes Tahfiz di Purwarkarta menerima manfaat berupa pembudidayaan jamur tiram. Seluruh pesantren yang dibantu akan dibimbing untuk mengetahui cara pembukuan pesantren yang tepat sehingga dana pesantren pun bisa terkontrol.
"Jadi kita betul-betul ingin mendidik teman-teman di pesantren dengan keahlian usaha yang kita miliki," ungkapnya.
Tak hanya Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Falah yang menikmati hasil wakaf produktif di tengah pandemi korona, Pesantren Al-Wusto di Panembong Subang juga merasakan hal sama.
Awalnya pesantren ini menerima pemasukan dari bisnis jasa penggilingan padi, kini malah merambah ke penjualan beras di tengah pandemi Covid-19.
Agus menceritakan, jika warga kampung menghadiri hajatan, mereka terbiasa memberikan beras. Artinya, orang yang punya hajat mendapat banyak beras dan tentu tidak seluruhnya dikonsumsi.
Pengurus pesantren pun membeli beras itu, menggunakan dana hasil bisnis jasa giling padi. Kemudian dijual kembali dengan mengambil marjin keuntungan kepada kalangan yang ingin membagikan sembako.
"Jadi saat pandemi sekarang, otomatis (pesantren) itu hidup. Bisa dibayangkan kalau misalnya terjadi pandemi sementara pemasukan itu belum ada, otomatis akan terasa sekali kesulitannya," ucapnya.
Karena itu, selain pemasukan dari penjualan beras, Pesantren Al-Wusto tetap tegak di atas kemandirian ekonominya melalui usaha jasa penggilingan padi. Ada padi yang berasal dari petani langsung, padi hasil dari sawah pesantren, atau padi hasil beli dari petani lain.
"Sekarang ini banyak yang beli (beras) untuk berdonasi atau untuk lainnya. Ini beberapa manfaat yang mungkin bagi kita atau pengusaha yang mapan tidak seberapa tetapi bagi mereka itu sangat berarti sekali. Karena membantu ekonomi dan operasional pesantren, yang bersumber dari dana wakaf tadi," ujarnya.
Agus adalah alumnus Pondok Pesantren Modern Gontor 1992, yang saat ini bergerak di bidang bisnis otomotif. Punya bengkel mobil dan toko ban di Subang, dengan total lima cabang.
Dia berprinsip untuk selalu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat. Ia menyadari, masih banyak pesantren yang kesulitan menghidupi dirinya.
Memang pemasukan pesantren itu di antaranya bersumber dari iuran santri. Tetapi iuran itu sendiri tidak seberapa jika dibandingkan dengan kebutuhan operasional pesantren.
"Sumber lainnya adalah sumbangan atau donasi. Ini kan tidak menentu, tidak selalu ada dan tidak bisa diprediksi. Maka pesantren harus dikuatkan secara ekonominya, harus dibantu, biar mereka punya potensi ekonomi dan bisa dikembangkan," kata ketua umum Forum Bisnis (Forbis) Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor itu.
Karakter pesantren tidak sama. Ada pesantren yang hanya memiliki 10 atau 100 murid. Ada pula pesantren yang memiliki ribuan santri. Pesantren dengan ribuan santri bisa dibentuk kemandirian ekonomi cukup dengan pendirian koperasi.
"Tetapi kalau yang santrinya 50 atau 100 itu tidak seberapa, maka harus digali lagi potensinya apa. Caranya, melalui wakaf produktif yang kita dorong untuk menjadi gaya hidup pengusaha Muslim. Artinya wakaf ini digerakkan ke dalam bisnis atau bidang ekonomi sehingga bisa terus berkembang," kata dia.
Namun, Agus mengakui, kalangan pimpinan pesantren saat ini belum terbiasa dengan kegiatan ekonomi.
Sebab mereka selama ini terfokus untuk mendidik santri dan mengelola pesantren. Jika kegiatan bisnis ini diserahkan kepada mereka, tentu bukan pilihan yang tepat karena mereka bukan ahlinya. Apalagi wakaf selama ini lebih diidentikkan pada tanah, pembangunan masjid, dan pembangunan asrama kelas.
Umpamanya, jika berwakaf uang senilai Rp 100 juta untuk membangun gedung, maka terbatas untuk tiga bangunan.
Tetapi kalau dialihkan untuk wakaf produktif, dengan perencanaan bisnis yang matang, bisa lebih dari itu. Karena itu, memang dibutuhkan gerakan dari para pengusaha yang sudah terbiasa dengan bisnis seperti itu.
"Saya berharap para pengusaha Muslim dan Muslim pada umumnya, yang punya kelebihan harta, ini momentum yang tepat untuk kita membantu dengan cara wakaf produktif, wakafnya sekali hasilnya mengalir dan membesar untuk kemaslahatan umat," imbuhnya.
Badan Wakaf Indonesia mengimbau masyarakat untuk mendukung wakaf produktif. Wakaf ini berbentuk pengelolaan aset yang keuntungannya diputar untuk pengembangan wakaf dan kemaslahatan sosial. Warga setempat dari berbagai kalangan dapat dilibatkan untuk pengelolaannya.
Wakaf produktif di Indonesia banyak dijalankan pondok pesantren yang memang fokus menjalankan ibadah sosial ini.
Tak sebatas menjalankan pendidikan dan pengajaran di kelas, pesantren juga mendidik santrinya dengan menugaskan mereka mengelola amal usaha pesantren yang merupakan aset wakaf.
Keuntungan yang didapat menjadi pemasukan yang dimanfaatkan untuk pengembangan aset wakaf pesantren.
Dengan sistem seperti ini, aset pesantren menjadi berlipat ganda. Pesantren pun semakin memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya. Banyak dari mereka diberdayakan untuk keberlangsungan wakaf pesantren. Mereka pun mendapatkan kesejahteraan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup.
"Kita harus bersinergi untuk menyemarakkan wakaf produktif," ujar Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr Fahrurroji.
Pihaknya menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendorong semua pihak untuk menguatkan wakaf produktif. Sebab dengan pola demikianlah ekonomi umat akan meningkat, sehingga dapat memberikan kesejahteraan lebih besar.
Alumnus Universitas al-Azhar Mesir ini menjelaskan bahwa wakaf produktif harus menjadi arus utama masyarakat di berbagai penjuru negeri ini. Apa yang dilakukan Yakaafi, menurutnya, adalah contoh pengarusutamaan wakaf produktif. Pihaknya berharap usaha Yakaafi tersebut akan menular dan menjalar ke berbagai wilayah sehingga orang semakin terbiasa untuk berwakaf.