Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lewat Novel 'Menunda Kekalahan', Todung Mulya Lubis Angkat Kisah Hukuman Mati Napi ke Khalayak Umum

Ingin bagikan kisah dunia hukum ke khalayak, Todung Mulya Lubis membuat sebuah karya novel yang berjudul 'Menunda Kekalahan'.

Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Pravitri Retno W
zoom-in Lewat Novel 'Menunda Kekalahan', Todung Mulya Lubis Angkat Kisah Hukuman Mati Napi ke Khalayak Umum
istimewa
Zoom peluncuran buku Menunda Kekalahan karya Todung Mulya Lubis, Rabu (11/8/2021). Todung bekerja sama dengan penerbit Gramedia Pustaka Utama dalam pembuatan novel ini. 

"Kita tahu di Indonesia kapasitasnya sesak, kapasitas 1.000 diisi 2.000. Jadi hal hal ini dialami oleh semua. Ini tidak mudah memang, pemerintah harus menyediakan uang yang banyak."

"Apakah memungkinkan jika semua orang dimasukkan ke dalam penjara? Apakah para pemakai narkoba itu dimasukkan semua ke dalam penjar? Ini harusnya dievaluasi kembali."

"Nah kalau semua (pemakai narkoba) dipenjara, penjara tidak mampu menampung mereka," jelas Todung.

Untuk itu, novel ini tak hanya sebagai karya sastra, namun juga dapat menjadi pembelajaran bagi semua pembacanya.

Kegelisahan dan kritisnya pikiran Todung juga dituangkan ke dalam cerita ini.

Bagi Todung, proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan. 

Todung menjelaskan, dirinya  sangat terganggu pada proses hukum terkait dunia suap.

Baca juga: Alasan Cut Meyriska Tetap Terima Roger Danuarta Meski Dulu Tersandung Narkoba 

BERITA REKOMENDASI

Menurutnya ini sulit, karena prinsipnya, sangat tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar.

Yakni barang siapa yang melakukan penawaran tertinggi, dia pemenangnya, ini bahaya.

Ini akan membuat proses peradilan tidak independen.

"Proses hukum di Indonesia membutuhkan banyak sekali pembaharuan apalagi sekarang jaman digital. Saya sangat terganggu misalnya untuk proses-proses hukum yang masih ada bau-bau suap."

"Nah buat saya ini sulit, kita kan tidak boleh menjadikan pengadilan seperti pasar, yakni siapa yang melakukan penawaran tertinggi, (yang menang) ini bahaya. Itu akan mempbuat proses peradilan itu sendiri tidak independen," terang Todung.


Supaya keadilan itu dapat terpenuhi dengan penilaian yang objektif.

Lepas dari itu, Todung mengaku dirinya akhirnya dapat menyelesaikan novel ini selama kurun waktu 6 bulan.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas