RI Diminta Kritisi Manfaat dan Risiko Latgab TNI AD-US Army, Tanggapan Komisi I DPR dan Pengamat
Latihan gabungan dengan nama Garuda Shield berlangsung selama dua pekan mulai 1 sampai 14 Agustus di 3 lokasi berbeda.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi meminta Pemerintah Indonesia mempertimbangkan aspek manfaat dan risiko dari penyelenggaraan latihan gabungan antara TNI dengan US Army (tentara Amerika Serikat) di tiga lokasi berbeda di Tanah Air.
Latihan gabungan dengan nama Garuda Shield tersebut berlangsung selama dua pekan mulai 1 sampai 14 Agustus di Baturaja, Sumatera Selatan, di Balikpapan dan di Manado, Sulawesi Utara.
Khairul Fahmi juga mengkritik sikap Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan keamanan yang kurang mengkritisi latihan gabungan tersebut.
Dia juga berharap ada timbal balik yang sepadan dari latihan bersama antara TNI AD dan US Army di kemudian hari.
Karena, latihan bersama biasanya bersifat timbal balik sehingga seharusnya latihan berikutnya dapat dilakukan di wilayah Amerika Serikat (AS) dengan bentuk latihan dan pelibatan jumlah personel yang setara.
Baca juga: KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa Tinjau Langsung Latma Garuda Shield Ke-15 di Amborawang
Dia menyebutkan, selain konteks diplomasi pertahanan, komitmen yang diperoleh TNI selanjutnya terkait kerja sama latihan tersebut juga menjadi penting untuk diketahui.
Soal lokasi latgab di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang berdekatan dengan lokasi calon ibu kota baru, dia menilai perlu ada evaluasi oleh pihak terkait, termasuk DPR.
Baca juga: Pakar dari UI: Latihan Bersama Garuda Shield Tidak Menciderai Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif
Evaluasi itu menyangkut mengenai kemanfaatan dan risiko dari penentuan wilayah tersebut sebagai lokasi latihan militer bersama.
"Perlu ada evaluasi apakah titik latihan yang digunakan sudah diperhitungkan kemanfaatan dan risikonya," ujarnya.
Dia juga mengingatkan, manfaat apapun yang didapatkan dari latihan militer tersebut tidak boleh mempengaruhi sikap dan kebijakan terkait dengan persoalan kawasan karena Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif.
Dia juga berharap bahwa latihan militer bersama yang dilakukan ditujukan bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas prajurit TNI, bukan prioritas maupun kepentingan lainnya.
"Prioritas pada peningkatan profesionalitas prajurit, itu yang diharapkan," jelasnya.
Latihan Garuda Shield ke-15 tahun 2021 antara TNI AD dan Angkatan Darat AS (US Army) merupakan latihan terbesar sepanjang sejarah kerja sama militer Indonesia dan AS.
Latgab ini melibatkan 2.161 prajurit TNI AD dan 1.547 tentara AS dengan mencakup berbagai materi latihan bersama dan berlangsung sejak 1 Agustus 2021.
Kegiatan latihan dibuka resmi oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dan Commanding General USARPAC General Charles A Flynn, Rabu (4/8/2021).
Lokasi latihan gabungan ini berada di Puslatpur Kodiklatad di Baturaja, Daerah Latihan Amborawang di Balikpapan, dan Makalisung, Manado.
Materi latihan gabungan meliputi staff exercise, field training exercise (FTX), live fire exercise (LFX), aviation, dan medical exercise (medex).
Ada juga dua program latihan yang akan digabungkan, yakni joint combined exchange training (JCET) dan Garuda Airborne.
Tanggapan DPR
Menanggapi kegiatan latihan gabungan ini, anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menilai sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif, sudah selayaknya Indonesia berhubungan dengan banyak negara, termasuk dalam hal latihan tempur militer.
"Ada pendapat yang mengatakan, sebagai negara non blok Indonesia tidak boleh berlatih dengan Amerika Serikat atau beberapa negara tertentu, itu keliru besar. Sah-sah saja," ujar TB Hasanuddin.
"Toh, latihan yang dilakukan TNI itu hanya seputar masalah teknis dan taktis bukan latihan Pakta Pertahanan," kata politikus PDI Perjuangan tersebut kepada Tribunnews.com, Jumat (6/8/2021).
Hasanuddin menambahkan, latihan pertempuran yang biasa dilakukan TNI hanyalah teknik dan taktik saja dalam konteks meningkatkan keterampilan personil militer dari kedua belah pihak.
Indonesia, kata dia, bukan hanya berlatih dengan Amerika Serikat saja tapi juga dengan hampir semua negara ASEAN secara rutin.
"Kita juga pernah berlatih juga dengan tentara Australia, beberapa negara Eropa bahkan pasukan Komando baret merah Indonesia pernah berlatih dengan pasukan Komando Cina," ujar TB Hasanuddin.
Selain itu, Hasanuddin mengatakan hampir setiap tahun perwira TNI mendapat tugas belajar di sejumlah negara, baik pendidikan perwira dasar maupun Sesko Angkatan bahkan Lemhanas.
"Saya kira itu tak jadi masalah, sebagai negara non blok justru kita harus berlatih dengan banyak negara," kata dia.
Pendapat pengamat
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana berpendapat, latihan bersama TNI AD dan US Army dengan nama Garuda Shield tidak menciderai kebijakan luar negeri bebas aktif.
“Bagi Indonesia yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif tentu latihan bersama tidak dapat dimaknai seolah Indonesia lebih mendekat dengan Amerika Serikat (AS) dibanding negara lain, utamanya China,” ujar Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Jumat (6/8/2021).
Belakangan, AS dan China terlibat persaingan untuk mendapatkan dominasi di berbagai belahan dunia, namun lebih intensif di Laut China Selatan.
Bagi AS dan China, Indonesia menjadi negara kunci untuk diperebutkan karena nilai strategis dalam banyak aspek.
Dalam posisi demikian, Hikmahanto berpendapat Indonesia mendapat banyak tawaran yang datangnya dari kedua negara yang memperebutkannya, mulai dari hutang luar negeri, pemberian vaksin gratis hingga latihan bersama antar militer.
Tawaran ini diharapkan Indonesia lebih condong ke salah satu pihak.
Bagi Indonesia tentu tawaran-tawaran yang diberikan tidak perlu ditolak, justru harus diterima dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan nasional.
“Politik luar negeri bebas aktif harus dimaknai sebagai Indonesia berteman dengan semua negara dan menerima berbagai tawaran dari negara manapun sepanjang tidak menciderai kepentingan Indonesia. Politik luar negeri Indonesia harus mengabdi pada kepentingan nasional,” ujarnya.
Laporan Reporter Tribunnews: Chaerul Umam/Srihandi Malau/*