Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap di Pembahasan RUU EBT
Sejumlah klausul yang muncul pada draf RUU EBT akan berdampak signifikan terhadap keuangan negara, khususnya di kondisi sulit akibat pandemi Covid-19
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
Angka ini hanya beranjak sedikit dibandingkan realisasi bauran energi terbarukan pada 2009 atau 12 tahun lalu, yang berada di level 7 persen.
“Pada waktu saya menjadi anggota DEN pertama yakni 2009, baurannya 7 persen. Sekarang hanya 10 persen - 11 persen. Jadi naiknya hanya sedikit," ujar Herman.
"Kalau dilihat tren kenaikannya, maka untuk mencapai 23 persen itu tidak mudah. Dan ini sulit,” imbuhnya.
Apalagi, lanjutnya, dengan adanya pandemi Covid-19 yang memukul hampir seluruh sektor industri, pemakaian energi, khususnya energi listrik, menjadi jauh berkurang.
Akibatnya, kata dia, terjadi kapasitas listrik berlebih atau over capacity yang alih-alih menjadi keuntungan, namun justru menjadi beban bagi perusahaan penyedia listrik.
“Ini situasi yang dilematis memang. Tetapi saya mengatakan, pesannya adalah maksimalkan energi terbarukan. Targetnya sih tetap ya, tetapi kita maksimalkan saja. Maka kemudian kalau tercapainya seperti apa, ya kita lihat saja,” tuturnya.
Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, menegaskan, Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang berjumlah 61 pasal membawa misi untuk mendorong pengembangan potensi energi baru dan terbarukan secara optimal.
"Kita akan memperluas seluas-luasnya. Kita akan kembangkan seluruh potensi energi baru terbarukan. Itu yang diakomodir di 61 pasal yang ada di RUU EBT," ungkap Sugeng Suparwoto.
"Jadi, RUU EBT merupakan payung hukum untuk pengembangan EBT. Di situ mengatur sedemikian rupa semuanya berjalan secara simultan," tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.