Otto: Ini Somasi Ketiga dan Terakhir, Kami Beri Waktu 5x24 Jam untuk Minta Maaf Kepala Pak Moeldoko
Otto Hasibuan, selaku kuasa hukum Moeldoko, mengatakan pihaknya hanya meminta agar Egi mampu memberikan bukti terkait kliennya mencari untung dari
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemaparan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha terkait dugaan perburuan rente menyoal Ivermectin hingga ekspor beras yang dilakukan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko berbuntut panjang.
Moeldoko mengutus kuasa hukumnya untuk melempar somasi kepada Egi. Namun dua kali somasi diberikan, tak jua mendapat balasan.
Otto Hasibuan, selaku kuasa hukum Moeldoko, mengatakan pihaknya hanya meminta agar Egi mampu memberikan bukti terkait kliennya mencari untung dari tuduhan yang dilakukannya.
"Kami sudah memberikan somasi kepada saudara Egi sebanyak dua kali. Kami sudah menyampaikan teguran tersebut dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memberikan bukti-bukti terhadap tuduhan pada bapak Moeldoko.Tetapi saudara Egi sampai sekarang tidak pernah membalas surat kami," ujar Otto, dalam konferensi pers secara daring, Jumat (20/8).
Atas dasar itu, Otto lantas berunding dengan kliennya untuk langkah selanjutnya. Moeldoko masih memberikan kesempatan terakhir kepada Egi dengan keyakinan ada perubahan dalam sikap yang bersangkutan.
Terkini, Moeldoko melalui kuasa hukumnya telah memberikan somasi ketiga kepada Egi. Otto menyebut somasi atau teguran ini merupakan yang terakhir. Diharapkan Egi akan mencabut pernyataannya seputar Moeldoko serta meminta maaf.
"Jadi tadi saya kirim surat kepada si Egi, surat teguran yang ketiga dan yang terakhir. Dan secara tegas kami menyatakan, kami berikan waktu 5x24 jam. Jadi 5 hari supaya dia longgar, kita berikan waktu kepada mereka untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf terhadap Pak Moeldoko," ungkapnya.
Baca juga: Kuasa Hukum Ungkap Kerugian yang Dialami Moeldoko Setelah Dituding Pemburu Rente oleh ICW
Apabila somasi ini juga tak diindahkan, Otto mengatakan laporan resmi kepada aparat penegak hukum terpaksa dilakukan. Dia beralasan Indonesia adalah negara hukum, dimana hukum harus ditegakkan ketika ada seseorang yang mencemarkan dan memfitnah orang lain.
"Jika dia tidak cabut (pernyataan) dan minta maaf, saya menyatakan dengan tegas Pak Moeldoko, kami sebagai kuasa hukum akan melaporkan hal ini kepada pihak kepolisian. Jadi perkara ini tidak akan berhenti," kata Otto.
"Waktu yang kami berikan kepada dia untuk membuktikan sudah cukup banyak. Tidak ada alasan buat mereka untuk tidak bisa berpikir dengan baik tentang ini dan tidak boleh seseorang itu berlindung dibalik alasan demokrasi, berlindung di dalam alasan pengawasan kepada pemerintah tapi mencemarkan dan memfitnah orang lain. Itu tidak boleh," imbuhnya.
Awal Mula Perseteruan Moeldoko vs ICW
Hasil penelusuran ICW menemukan dugaan keterkaitan anggota partai politik, pejabat publik, dan pebisnis dalam penggunaan obat Ivermectin untuk menanggulangi Covid-19.
Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan ICW menyebut Moeldoko mempunyai hubungan PT Harsen Laboratories selaku perusahaan yang memproduksi Ivermectin.
Salah satu nama yang terafiliasi dengan PT Harsen Laboratories adalah Sofia Koswara. Ia adalah Wakil Presiden PT Harsen dan mantan CEO dari B-Channel.
Keterlibatan pejabat publik, kata Egi, diindikasikan melalui kedekatan antara Sofia dengan Moeldoko yang menjabat Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Sejak 2019, PT Noorpay Nusantara Perkasa --perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Sofia-- menjalin hubungan kerjasama dengan HKTI terkait program pelatihan petani di Thailand. Di saat yang sama, anak Moeldoko yang bernama Joanina Rachma adalah pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut.
"Pada awal Juni lalu, Ivermectin didistribusikan ke Kabupaten Kudus melalui HKTI. Selain itu, anak Moeldoko, Joanina Rachman, merupakan pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa," kata Egi, dalam keterangannya, Kamis (22/7).
Beberapa nama lain juga disebutkan Egi dalam pemaparan tersebut. Dimana menurutnya fenomena itu kian menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri.
Presiden Joko Widodo bahkan, dinilainya tidak menindak tegas pejabatnya yang diduga terlibat dalam konflik kepentingan distribusi Ivermectin. "Alih-alih demikian, ia (Presiden Jokowi) bahkan membuka ruang perburuan rente dengan membiarkan instansi tertentu campur tangan dalam penanganan covid di luar tugas dan kewenangannya," kata Egi.
Bantahan Moeldoko hingga Somasi ke ICW
Moeldoko angkat suara terkait tuduhan keterlibatannya dalam bisnis obat Ivermectin. Dia membantah informasi yang disampaikan ICW tersebut.
"Itu tuduhan ngawur dan menyesatkan," kata Moeldoko, lewat keterangan tertulis, Kamis (22/7).
Bantahan Moeldoko ternyata berlanjut kepada pelayangan somasi atau teguran tertulis kepada ICW, Senin (2/8).
Baca juga: Kuasa Hukum Moeldoko Ancam Laporkan Peneliti ICW dengan Pasal Penyebaran Hoaks
Dalam surat somasi itu, Moeldoko menilai ICW telah menyampaikan tuduhan yang tidak bertanggung jawab serta melakukan fitnah dan pencemaran nama baik terkait bisnis obat Ivermectin.
Otto Hasibuan, selaku kuasa hukum Moeldoko, lantas meminta ICW membuktikan tuduhan mengenai keterlibatan diri Moeldoko. Jika tidak bisa membuktikan, maka ICW harus meminta maaf secara terbuka dan mencabut pernyataan.
Ternyata somasi kedua kemudian dilayangkan setelah pihak Moeldoko mengaku tak menerima surat klarifikasi dari pihak ICW.
"Besok kami akan kirim lagi somasi kedua kepada saudara Egi Primayogha dan kawannya. Kalau ICW bisa memberikan bukti tentang keterlibatan pak Moeldoko, dengan ini saya menyatakan tegas pak Moeldoko siap bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum," kata Otto, Kamis (5/8).
"Umpamanya ICW tidak bisa membuktikan tuduhan, pak Moeldoko tidak membawa ke polisi. Tetapi kita minta mereka mencabut tuduhan-tuduhan tersebut," katanya.
Otto mengaku bahwa pihaknya belum menerima surat balasan atas somasi pertama Moeldoko dari ICW. Meski di sisi lain, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur selaku kuasa hukum ICW menyatakan telah mengirimkan surat balasan dari pihak ICW kepada Moeldoko.
"Sampai sekarang surat tersebut belum dibalas atau ditanggapi. Sampai sekarang, ICW tidak memberikan bukti-bukti itu," ujar Otto.
Isnur mengklaim somasi Moeldoko sudah dibalas oleh ICW pada Selasa (3/8). Dalam surat balasan itu ditegaskan beberapa hal.
Pertama, ICW menemukan sejumlah indikasi keterlibatan Moeldoko dalam distribusi obat Ivermectin yang berpotensi terjadinya konflik kepentingan. Hal tersebut didasarkan atas relasi bisnis antara anak Moeldoko dengan Sofia dalam PT Noorpay Nusantara Perkasa.
“Tidak hanya itu, beberapa pemberitaan juga menyebutkan bahwa Moeldoko sempat meminta kepada Sofia agar izin edar Ivermectin segera diproses. Padahal, pada waktu yang sama, uji klinis atas obat ivermectin belum diselesaikan," ujar Isnur, dalam keterangannya, Sabtu (7/8).
Selain itu, temuan ICW juga merujuk pada informasi yang menyebutkan adanya distribusi Ivermectin oleh HKTI berkerjasama dengan PT Harsen Laboratories kepada sejumlah masyarakat di Jawa Tengah.
“Tak lama berselang, BPOM menegur PT Harsen Laboratories karena telah menyalahi aturan produksi dan peredaran obat. Tindakan itu pun dilanjutkan dengan permintaan maaf dari produsen Ivermectin tersebut,” katanya.
Kedua, Isnur mengatakan dalam surat itu ICW sudah meluruskan bahwa telah terjadi misinformasi perihal ekspor beras antara HKTI dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
Merujuk pada siaran pers yang tertuang di website ICW, disebutkan bahwa HKTI bekerjasama dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa dalam hal mengirimkan kader HKTI ke Thailand guna mengikuti pelatihan tentang Nature Farming dan Teknologi Effective Microorganism.
“Jadi, tidak tepat juga jika misinformasi itu langsung dikatakan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah. Sebab, mens rea bukan mengarah pada tindakan sebagaimana dituduhkan Moeldoko dan itu dapat dibuktikan dengan siaran pers yang telah ICW unggah di website ICW," tuturnya.