Juliari Dihina Masyarakat Karena Kasus Bansos, PA 212 Pertanyakan Komitmen Ketua KPK
Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif menyoroti soal hukuman 12 tahun penjara yang diterima eks Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif menyoroti soal hukuman 12 tahun penjara yang diterima eks Menteri Sosial Juliari Batubara dalam kasus bansos Covid-19.
Adapun dalam putusan hakim, Juliari mendapatkan hal yang meringankan karena mendapatkan banyak hinaan dalam kasus ini.
Menurut Slamet, komitmen Ketua KPK dipertaruhkan di sini.
"Kita kan berharap dengan komitmen Ketua KPK semestinya, apalagi ini kan efeknya buat rakyat kecil," kata Slamet kepada wartawan, Selasa (24/8/2021).
Slamet pun menilai bahwa hukuman yang pantas untuk Juliari semestinya adalah hukuman mati.
"Komitmen Ketua KPK yang sekarang, dan sekarang masyarakat lagi melihat komitmennya terkait pemberantasan korupsi apalagi menyangkut dana bansos," pungkasnya.
Ketua KPK Firli Bahuri lewat keterangan tertulis Maret 2021, sempat menyinggung kemungkinan pemakaian tafsir pidana mati untuk kasus eks-mensos.
Kasus Juliari dia akui amat mencederai kepercayaan publik, lantaran suap bansos berlangsung di tengah darurat pandemi.
Dalam beberapa kesempatan berbeda, Firli kerap mengancam semua pejabat agar tak menyalahgunakan bantuan sosial, sebab ancaman hukumannya adalah mati.
Namun Firli buru-buru memberi penafian, bahwa perlu pembuktian mendalam dan amat lengkap untuk menetapkan tuntutan pidana terberat bagi politikus 49 tahun itu.
“Benar secara normatif dalam UU Tipikor terutama Pasal 2 ayat (2) hukuman mati diatur secara jelas ketentuan tersebut dan dapat diterapkan," kata Firli.
“Akan tetapi bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan keadaan tertentu saja untuk menuntut hukuman mati, namun tentu seluruh unsur pasal 2 ayat 1 juga harus terpenuhi," imbuhnya.
Sebelumnya, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8/2021, diketahui majelis hakim menyebutkan sejumlah keadaan yang meringankan untuk Juliari, yaitu politikus PDI Perjuangan itu belum pernah dijatuhi pidana.
Baca juga: Hakim Sebut Juliari Pengecut tapi Sudah Cukup Menderita Akibat Dihina Masyarakat
"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ucap hakim.
Selain itu, hakim menilai Juliari Batubara bersikap kooperatif.
"Selama persidangan kurang lebih 4 bulan, terdakwa hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar. Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," kata hakim pula.
Sementara, untuk hal memberatkan, majelis hakim menilai Juliari tidak ksatria alias pengecut.
Majelis hakim menyebut demikian lantaran Juliari tidak mengakui perbuatannya.
Bahkan, hal itu dimasukkan oleh majelis sebagai pertimbangan yang memberatkan pidana.
“Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, bahkan menyangkali perbuatannya,” kata hakim.
Selain itu, yang meberatkan juga, hakim menyebut perbuatan Juliari dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah COVID-19.
Dalam putusannya, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara.
Ia juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Dalam perkara ini, Juliari selaku Menteri Sosial RI periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain.
Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako.
Uang suap itu diterima dari Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020, dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako COVID-19 periode Oktober-Desember 2020.
Hakim menilai Juliari terbukti memerintahkan Matheus Joko dan Adi Wahyono untuk meminta commitment fee sebesar Rp10 ribu per paket kepada perusahaan penyedia sembako.
"Perbuatan terdakwa telah merekomendasikan dan mengarahkan perusahaan penyedia bansos sembako COVID-19 adalah bentuk intervensi, sehingga tim teknis tidak bisa bekerja normal dan tidak melakukan seleksi di awal proses, meski perusahaan tidak memenuhi kualifikasi sebagai penyedia," ungkap anggota majelis Joko Subagyo.
Uang fee sebesar Rp14,7 miliar, menurut hakim, sudah diterima oleh Juliari dari Matheus Joko dan Adi Wahyono melalui perantaraan orang-orang dekat Juliari yaitu tim teknis Mensos Kukuh Ary Wibowo, ajudan Juliari bernama Eko Budi Santoso, dan sekretaris pribadi Juliari Selvy Nurbaity.
Matheus Joko dan Adi Wahyono kemudian juga menggunakan fee tersebut untuk kegiatan operasional Juliari selaku Mensos, dan kegiatan operasional lain di Kemensos seperti pembelian ponsel, biaya tes swab, pembayaran makan dan minum, pembelian sepeda Brompton, pembayaran honor artis Cita Citata, pembayaran hewan kurban hingga penyewaan pesawat pribadi.
Terhadap putusan tersebut, Juliari Batubara menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.