Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Prof Romli Bela Nyoman Adhy dan Harry Soeratin dalam Polemik Seleksi Calon Anggota BPK

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita menilai tak masalah keduanya ikut serta.

Penulis: Reza Deni
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Prof Romli Bela Nyoman Adhy dan Harry Soeratin dalam Polemik Seleksi Calon Anggota BPK
Tribunnews.com/ Nurmulia Rekso
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Uji kelayakan Calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI hari pertama telah digelar.

Nama Nyoman Adhi Suryadnyana yang disebut tak memenuhi syarat ikut dalam uji kelayakan tersebut. Satu nama lagi yang juga tak memenuhi syarat yakni Harry Zacharias Soeratin juga akan melaksanakan uji kelayakan pada Kamis besok.

Menanggapi polemik yang terjadi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita menilai tak masalah keduanya ikut serta.

"Pasal 13 UU BPK huruf J paling singkat dua tahun telah meninggalkan jabatan di lingkungan pengelolaan keuangan. Salah satu syarat dari 11 syarat. Tidak ada masalah jika 10 syarat lain sudah dipenuhi," kata Romli saat dihubungi, Rabu (8/9/2021).

Baca juga: Seleksi Anggota BPK Dinilai Langgar Konstitusi, DPR Diminta Tak Permisif

Ditambah, Romli mengatakan fatwa Mahkamah Agung juga telah terbit dan memiliki kekuatan hak pro justitia.

"Fatwa MA menguatkan Pasal 13 huruf alias MA tidak memberikan pendapat disclaimer sehingga calon-calon tersebut harus ditolak," kata Romli.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, yang terpenting sekarang adalah alasan DPR meminta fatwa.

Baca juga: Komisi XI Bantah Ada Transaksional dalam Uji Kelayakan Anggota BPK: Kami Masih Punya Akal Sehat

"Alasan tersebut harus disampaikan bukan kepada MA, tetapi kepada publik sesuai dengan hak masyarakat meminta informasi publik sesuai UU No 14 tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP)," pungkasnya.

Dia tak lupa mengkritisi kebiasaan lembaga eksekutif dan legislatif atau bahkan masyarakat meminta fatwa ke MA.

"Kebiasaan keliru karena kekuasaan MA sebatas masalah yang bersifat pro justitia bukan masalah pelaksanaan UU apalagi masalah administrasi, sehingga seharusnya MA menolak permintaan fatwa tersebut," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas