Sidang Uji Materiil, Ahli: Konvensi PBB Tak Larang Penggunaan Narkotika untuk Medis dan Ilmiah
(MK) menggelar sidang perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 perihal uji materiil UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. Agenda sidang
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 perihal uji materiil UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. Agenda sidang yakni mendengar keterangan ahli Pemohon.
Pemohon menghadirkan ahli Steve Rolles selaku analis kebijakan senior Transform Drug Policy Foundation, yakni badan amal berbasis di Inggris yang aktif kegiatan internasional selama 25 tahun terakhir.
Dalam paparannya, Steve menyebut sistem hukum nasional perihal narkotika didasarkan pada 3 konvensi obat - obatan Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB). Antara lain konvensi 1961, konvensi 1971, dan konvensi 1988.
Tujuan tiga konvensi tersebut sama, yaitu punya tujuan ganda untuk membatasi penggunaan obat psikoaktif nonmedis, di sisi lain juga memfasilitas dan mengelola terkait kebutuhan medis serta ilmiah.
"Sebagian besar sistem hukum nasional didasarkan pada 3 konvensi obat - obatan PBB, yakni konvensi 1961, 1971 dan 1988 yang memiliki tujuan ganda untuk membatasi penggunaan obat psikoaktif nonmedis, sementara juga memfasilitasi dan mengelola medis dan ilmiah," ucap Steve dalam sidang di MK, Selasa (14/9/2021).
Steve juga mengatakan bahwa kerangka pengendalian obat - obatan PBB ini punya hal penting. Konvensi tersebut dikatakan tidak memberlakukan larangan mutlak terhadap obat - obatan apapun untuk keperluan medis dan ilmiah, sekalipun pada obat yang paling berisiko.
Hanya saja, obat - obatan yang masuk dalam golongan lebih berisiko harus tunduk pada kontrol yang lebih kuat.
"Pertama, konvensi tersebut tidak memberlakukan larangan mutlak terhadap obat obatan apapun untuk penggunaan medis dan ilmiah sekalipun obat yang paling dianggap berisiko," terang Steve.
Baca juga: Jalan Keluar yang Tepat Bukan Pencopotan, Silakan Pemerintah Ajukan Revisi UU Narkotika
"Secara spesifik, konvensi menyatakan obat - obatan yang lebih berisiko harus tunduk pada kontrol yang lebih ketat, tapi tidak dilarang untuk penggunaan medis dan ilmiah," ucapnya.
Sebelumnya, Pasal 6 ayat (1) huruf H dan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika digugat oleh tiga orang ibu - ibu yang anaknya tengah sakit, dan membutuhkan akses pengobatan narkotika golongan I.
Ketiga orang ibu yang menggugat aturan ini tidak bisa mendapatkan akses obat yang berasal dari ekstrak narkotika jenis ganja.
Salah satu pemohon bernama Dwi Pertiwi, memiliki anak yang mengidap penyakit Cerebral Palsy atau penyakit lumpuh otak dengan efek gangguan pada gerakan koordinasi tubuh.
Anak dari pemohon sempat membaik usai mendapat terapi lewat obat cannabis oil di Australia pada tahun 2016.
Namun saat pemohon dan anaknya kembali ke Indonesia, terapi tersebut tak bisa dilanjutkan lantaran regulasi Indonesia melarang penggunaan ganja yang masuk dalam kategori narkotika golongan I.
"Atas dasar itu, pertanyaan hukumnya. Apakah ibu Dwi yang anaknya bisa diobati menggunakan narkotika golongan I, tapi di Indonesia tidak bisa digunakan, itu konstitusional atau tidak? Menurut kami itu tidak konstitusional," tutur Kuasa hukum Pemohon, Maruf Bajammal.
Sehingga lewat uji materil ini, diharapkan dapat membuka mata pemerintah soal regulasi khususnya penggunaan minyak cannabis (ganja) yang termasuk narkotika golongan I untuk pengobatan.
Upaya gugatan dari ketiga orang ibu ini diharapkan bisa membuat melek mata seluruh pihak bahwa ada narkotika yang dilarang dalam regulasi, tapi sesungguhnya bermanfaat untuk pengobatan.