Pakar Hukum Dorong Presiden Berani Tolak Hasil Seleksi Komisi XI soal Anggota BPK
Dia mengatakan, presiden diambil sumpah jabatannya untuk menjalankan aturan perundang-undangan, bukan untuk melanggarnya.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil seleksi calon Anggota BPK RI 2021 yang meloloskan Nyoman Adhi Suryadnyana menuai polemik di publik.
Dalam pasal 13 huruf J UU BPK, disebutkan bahwa calon anggota BPK paling singkat telah 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.
Sementara Nyoman diketahui tidak memenuhi syarat sesuai UU BPK tersebut dan justru tetap diloloskan.
Hal tersebut berimplikasi kemudian pada komitmen DPR dan Presiden dalam menjalankan perintah undang-undang. Pasalnya, sekarang bola panas ada di tangan kedua lembaga negara tersebut.
Demikian dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis dalam FGD PB PMII, yang keterangannya diterima Tribunnews, Senin (20/9/2021).
Baca juga: DPR Diminta Batalkan Penetapan Nyoman Adhi Jadi Anggota BPK
Dia mengatakan, presiden diambil sumpah jabatannya untuk menjalankan aturan perundang-undangan, bukan untuk melanggarnya.
Oleh karenanya, jika presiden mengesahkan hasil seleksi yang dilakukan oleh Komisi XI, presiden sama saja dengan melanggar sumpah jabatannya.
"Masalahnya sekarang apakah presiden memiliki keberanian atau tidak untuk tidak mengesahkan itu," ujar Margarito.
Meski demikian, Margarito juga memberikan support kepada presiden untuk tidak ragu menolak hasil seleksi BPK.
"Kalau nanti partai-partai menghimpit presiden, mereka tidak ada pijakan yang rasional. Kami yakin presiden mengambil pilihan tepat kalau beliau tidak mengesahkan," katanya.
Baca juga: Koalisi Save BPK Prediksi Akan Ada Banyak Gugatan atas Terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana
Sependapat dengan Margarito Kamis, Ketua Bidang Polhukam PB PMII Daud A Gerung menegaskan bahwa Nyoman memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi Anggota BPK.
Dia menyayangkan keputusan Komisi XI yang telah menabrak UU BPK.
"Padahal UU tersebut dibuat oleh mereka juga, tapi mereka juga yang tabrak," ujar Daud.
Daud juga menyampaikan bahwa Komisi XI tidak memiliki itikad baik, karena sebelumnya dia telah mengundang Komisi XI untuk hadir berbicara di FGD.
"Kami sudah menyurati Ketua Komisi XI dan beberapa anggota, tapi tidak ada respon dan itikad baik. Kami kan terus kawal dan dorong bersama sampai tuntas," tandasnya.
Diketahui, Nyoman Adhi Suryadnyana meraih suara terbanyak dari Anggota Komisi XI dalam pengambilan keputusan melalui voting dengan 44 suara, lalu kemudian disusul Dadang Suwarna dengan 12 suara.
"Dengan demikian, pengambilan keputusan Calon Anggota BPK sesuai perhitungan saudara Dadang Suwarna jumlahnya 12, saudara Nyoman 44. Total 56 suara," kata Ketua Komisi XI Dito Ganinduto usai pengambilan keputusan, Kamis (9/9/2021) malam.
"Dengan, demikian calon anggota bpk terpilih yaitu saudara Nyoman Adhi Suryadnyana, dan ini akan kita proses melalui mekanisme yang tertuang dalam tatib," kata Dito
Diketahui, nama Nyoman ramai disoroti publik sebab disebut tidak memenuhi syarat sesuai Pasal 13 huruf J UU no 15 tahun 2006 tentang BPK RI. Selain Nyoman, nama Harry Soeratin juga disorot publik ihwal serupa.
Keduanya disoroti publik karena dianggap tidak memenuhi Pasal 13 Huruf J UU no 15 tahun 2006 tentang BPK.
Dalam pasal tersebut, untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, salah satu syaratnya calon anggota BPK harus paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.
Hal tersebut dikuatkan dengan Pendapat Hukum Mahkamah Agung (MA) Nomor 183/KMA/HK.06/08/2021, di mana calon Anggota BPK harus mengacu pada ketentuan Pasal 13 huruf j UU BPK yang dimaksud.
Nyoman Adhi Suryadnyana pada 3 Oktober 2017 sampai 20 Desember 2019 masih menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III).
Sedangkan calon anggota BPK lain Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).