Komnas Perempuan Ungkap Alasan Korban Dugaan Pelecehan di KPI Melapor Kepada Pihaknya
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengapresiasi keberanian MS, terduga korban pelecehan di lingkungan kerja KPI Pusat.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengapresiasi keberanian MS, terduga korban pelecehan di lingkungan kerja KPI Pusat bersama istrinya mengadukan kasusnya kepada pihaknya, Kamis (30/9/2021).
Andy mengungkapkan pengaduan dilakukan secara virtual dengan didampingi penasehat hukum dan Koalisi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara.
Pengaduan tersebut, kata Andy, bertujuan untuk menginformasikan peristiwa kekerasan seksual yang telah ia alami dan terjadi di kantor KPI, dampak, langkah yang diambil dan perkembangan advokasi kasusnya.
Andy menjelaskan alasan MS mengadu ke Komnas Perempuan.
"Saudara MS merasa perlu melaporkan kepada Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM yang memiliki fokus dan keahlian dalam hal kekerasan seksual untuk mendapatkan pertimbangan pada situasi yang ia hadapi, termasuk juga dampak yang dialami oleh anggota keluarganya, dalam hal ini pada istri dan ibundanya," ucap Andy melalui keterangan tertulis, Jumat (1/10/2021).
Baca juga: Komnas Perempuan Sebut Kasus Pelecehan Seksual di KPI Amat Serius, Pengaruhi Fisik dan Mental Korban
Kekerasan seksual, sebagaimana dialami MS, menurut Andy, memiliki dampak yang bertautan secara psikis, fisik, seksual, dan juga sosial ekonomi, yang jika tidak ditangani segera dapat berdampak fatal.
Dalam kasus MS, pengalaman kekerasan seksual ini mengakibatkannya stres, depresi, dan kesedihan berlanjut.
Sehingga, mempengaruhi kesehatan fisiknya, seperti kerap mengalami sakit lambung dan insomnia.
"Dampak ini juga mengena pada anggota keluarga terdekat dan mempengaruhi relasi suami istri ataupun ayah ke anak, selain pada kapasitasnya untuk bekerja," kata Andy.
Baca juga: Korban Pelecehan Seksual di KPI Jalani Tes Psikis Keempat di RS Polri
Saat bersamaan, MS juga menghadapi penyangkalan atas kekerasan seksual yang ia alami, proses hukum yang seolah tak berujung, dan dukungan pemulihan yang terbatas.
Situasi penyangkalan yang dihadapi MS adalah menjadi bagian dari potret sosial masyarakat kita yang tengah dihadapkan pada situasi darurat seksual.
Potret ini sangat dipengaruhi oleh rape culture, yakni suatu cara pandang di masyarakat yang mendukung atau membenarkan serangan seksual.
"Akibatnya terjadi pembiaran secara masif dan berdurasi panjang, bahkan mengarah pada potensi keberulangan dan seolah tidak tersentuh hukum. Rape culture juga dapat terjadi di dunia kerja," jelas Andy.
Kekerasan seksual di dunia kerja penting untuk segera diatasi negara sebagai bagian dari tanggung jawabnya atas hak asasi manusia.
Baca juga: Usut Dugaan Pelecehan Pegawai KPI, Komnas HAM Kumpulkan Keterangan Delapan Staf KPI
"Dalam kasus Saudara MS, tampak jelas bahwa pemulihan korban juga perlu diperluas kepada anggota keluarganya, yang terdampak secara tidak langsung dari peristiwa kekerasan seksual itu dan sekaligus berperan penting sebagai penyokong pemulihan korban," ungkap Andy.
Proses pemulihan bagi korban bukanlah sebuah proses yang terpisah dari layanan lainnya, melainkan perlu dilakukan sejak awal korban melaporkan kasus hingga korban berdaya.
Selama korban masih dianggap belum pulih, layanan pemulihan harus tetap dilakukan. Pembelajaran dari kasus ini pun memperlihatkan kebutuhan korban kekerasan seksual akan payung hukum yang menjamin dan melindungi korban kekerasan seksual.
"Maka menjadi penting pembahasan dan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Andy.