Hayati Makna Hari Kesaktian Pancasila, Moeldoko: Pancasila Harga Mati bagi Bangsa Indonesia
Yayasan Global CEO Indonesia dan komunitas Milenial Cinta Budaya menggelar seminar kebangsaan dengan tema 'Budaya Sebagai Benteng Ancaman Radikalisme'
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam menyambut Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober 2021, Yayasan Global CEO Indonesia dan komunitas Milenial Cinta Budaya menggelar seminar kebangsaan dengan tema 'Budaya Sebagai Benteng Ancaman Radikalisme' guna lebih menghayati makna kesaktian Pancasila.
Mengingat pandemi Covid-19 masih merebak, acara dilaksanakan secara hybrid.
Secara offline digelar dengan jumlah undangan terbatas di Gedung WTC Sudirman lantai 18, Mercantile Athletic Club. Sementara sebagian besar hadir melalui online.
Narasumber yang hadir antara lain putri bungsu Mohammad Hatta yakni Halida N Hatta, Wakil Ketua Komisi Ukhuwah MUI H. Saeful Bahri, dan Sekjen Millenial Cinta Budaya Wildan Baraba. Selain itu hadir Jend TNI (Purn) Moeldoko dan Rudi S Kamri selaku CEO Kanal Anak Bangsa, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Anak Bangsa.
Memperingati hari kesaktian Pancasila, Moeldoko menegaskan bahwa Pancasila adalah harga mati bagi seluruh bangsa Indonesia.
Baca juga: Hari Kesaktian Pancasila, Momentum Pertebal Keyakinan untuk Jawab Tantangan di Masa Pandemi
"Pancasila harga mati bagi bangsa Indonesia, bagaimana penguatan pemakaian Pancasila dalam hidup sehari-hari. Mulai dari kehidupan sehari-hari di rumah tangga, bagaimana menjaga toleransi, saling menghormati, membangun sensitivitas, ajarkan membangun toleransi," ujar Moeldoko, dalam keterangannya, Sabtu (2/10/2021).
Sementara itu, Ketua Yayasan Global CEO Indonesia Trisya Suherman menerangkan jika 1 Oktober merupakan momen penting yang mengingatkan kita bahwa nilai-nilai luhur Pancasila harus selalu diingat dan semakin mendarah daging di masyarakat.
Trisya pun menambahkan dengan begitu banyaknya kekayaan budaya di Indonesia, seharusnya sebagai anak bangsa kita harus bangga dan bersatu dengan berpedoman pada slogan di burung Garuda yaitu Bhineka Tunggal Ika, Berbeda tetapi Satu yaitu Indonesia.
"Karena Indonesia memiliki kekayaan adat kebudayaan yang dapat dibanggakan, dan hal ini merupakan aset negara kita yang tidak dimiliki negara lain. Ini harus terus dilestarikan, disosialisasikan," ucap Trisya.
"Dengan tumbuhnya kecintaan terhadap budaya Indonesia diberbagai kalangan khususnya millenials, diharapkan penganut paham radikalisme pun dapat teredukasi, sehingga mereka bisa lebih mencintai NKRI dan tidak adalagi paham paham lain, selain Pancasila," imbuhnya.
Di sisi lain, Sekjen Millenial Cinta Budaya Wildan menerangkan bahwa ancaman radikalisme telah masuk di segala lini melalui pemberitaan media massa.
Ancaman tersebut bergerak sangat senyap, sampai akhirnya secara tetiba melakukan aksi kriminal berdasarkan paham radikal.
"Tentu masih banyak PR bagi kami (milenial), tapi kami percaya sebuah langkah konkret yang konsisten akan menghasilkan dapat baik. Dalam konteks ini adalah kembali mengingatkan para teman-teman yang sudah terpapar radikalisme, untuk kembali bersatu sebagai Bangsa Indonesia, di bawah bendera merah-putih dan Pancasila," jelas Wildan.
Adapun Jafar Salasa selaku peserta seminar dari Sulawesi Tenggara, mengatakan perlunya dilakukan seminar dan kajian-kajian kebangsaan di daerahnya.
Terutama yang mengangkat masalah ancaman radikalisme, dengan banyaknya pekerja asing di Sultra, juga masih dominannya pemikiran feodal yang mudah terpancing.