Pujian untuk Presiden Jokowi dari Kishore Mahbubani Disebut Subjektif dan Berbahaya
Ubedilaj Badrun menilai pujian Prof. Kishore Mahbubani kepada Presiden Joko Widodo yang menyebutnya jenius dan paling efektif terlalu subjektif.
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Sebaliknya, capres dan cawapres yang dikalahkan Jokowi dalam pemilihannya kembali 2019 yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kini menjabat di kabinetnya (masing-masing sebagai menteri pertahanan dan menteri pariwisata).
Lebih khusus lagi, Profesor Kishore Mahbubani mengatakan jika Jokowi telah membalikkan momentum pertumbuhan partai-partai politik paling “Islamis” di Indonesia yang sebagian diantaranya menjadi partai inklusif.
Sementara Presiden Jair Bolsonaro justru telah memperdalam perpecahan di Brasil, negara yang populasinya mirip dengan Indonesia.
Profesor Kishore Mahbubani mengatakan Jokowi telah menyatukan kembali negaranya secara politik.
"Seperti yang dia katakan kepada saya dalam sebuah wawancara baru-baru ini bahwa Pilar ketiga ideologi Indonesia, Pancasila, menekankan persatuan dalam keragaman.”
Untuk itu, koalisi yang dibangun Jokowi berhasil mensahkan Omnibus Law tahun lalu, yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.
Pengalaman pribadi Jokowi tentang kemiskinan adalah kunci untuk memahami pencapaiannya.
Jokowi sukses berkarir di politik, dia adalah gubernur Jakarta sebelum menjadi presiden RI.
Dia bisa mendirikan perusahaan dan menjadi miliarder seperti yang dilakukan banyak politisi.
Tetapi kesejahteraan orang miskin tetap menjadi fokus Jokowi dan tidak mengherankan bahwa pemerintahannya telah memberikan banyak program untuk membantu warga miskin.
Pada tahun 2016, misalnya, pemerintah melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat miskin melalui formalisasi kepemilikan tanah.
Baca juga: Pemerintah Salurkan Bantuan Rp 1,2 Juta untuk PKL dan Warung, Jokowi: Kurang Ndak?
Jokowi juga memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat (Kartu Indonesia Sehat) dan skema jaminan kesehatan nasional baru, yang ditujukan untuk memberikan perawatan kesehatan bagi warga.
Demikian pula, pemerintah meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (Kartu Indonesia Pintar) untuk meningkatkan partisipasi sekolah dan mencapai pendidikan universal, dan menyelenggarakan program bantuan tunai untuk masyarakat miskin (Program Keluarga Harapan).
Sebelum Jokowi menjabat pada tahun 2014, koefisien Gini ketimpangan kekayaan Indonesia terus meningkat, dari 28,6 pada tahun 2000 menjadi 40 pada tahun 2013. Koefisien kemudian menurun menjadi 38,2, penurunan signifikan pertama dalam 15 tahun.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.