Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Permohonan Uji Materiil Pasal Blokir Internet

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil pasal blokir internet.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Mahkamah Konstitusi Tolak Seluruh Permohonan Uji Materiil Pasal Blokir Internet
(Kompas.com/Fitria Chusna Farisa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. MK menolak seluruh permohonan uji materiil pasal blokir internet. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil pasal blokir internet.

Keputusan dibacakan dalam sidang yang berlangsung di MK, Jakarta Pusat, Rabu (27/10/2021).

Dalam konklusi, Ketua MK Anwar Usman, selaku Hakim Konstitusi mengatakan berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana yang diuraikan, Mahkamah memberikan tiga kesimpulan.

Pertama, Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut.

Kedua, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.

Ketiga, Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Berita Rekomendasi

"Amar Putusan. Mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar Usman sebagaimana ditayangkan dalam kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (27/10/2021).

Baca juga: Jawab Yusril soal Gugatan AD/ART Demokrat, Hamdan Zoelva: Uji Materiil ke MA Bukan Terobosan Hukum

Amar putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 81/PUU-XVIII/2020.

Putusan tersebut merupakan putusan terhadap perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Permohonan tersebut diajukan Pemohon I yakni Arnoldus Belau dan Pemohon II yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Dalam persidangan para pemohon mendalilkan dalam Pokok Permohonan bahwa pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang 19/2016 tentang ITE bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.

Para Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945.

Baca juga: Sidang Uji Materiil, Ahli: Konvensi PBB Tak Larang Penggunaan Narkotika untuk Medis dan Ilmiah

Hal tersebut sepanjang tidak dimaknai: "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2(b), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum".

Dalam sidang disebutkan bahwa para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan P1 sampai P-29.

Para Pemohon juga telah mengajukan tiga orang ahli yang menyampaikan keterangan yakni Herlambang P Wiratraman, Oce Madril, dan Titik Puji Rahayu.

Para Pemohon juga telah mengajukan dua orang saksi yakni Asep Komarudin dan Victor Claus Mambor yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah dalam persidangan.

Sementara itu, disebutkan juga DPR telah menyampaikan keterangan yang dibacakan di Persidangan Mahkamah yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis.

Disebutkan, pada pokoknya DPR menerangkan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE.

Baca juga: MA Tolak Gugatan Uji Materiil Pegawai KPK Terkait TWK

Terkait Pokok Permohonan para Pemohon, DPR menerangkan bahwa norma pada pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE merupakan penegasan peran pemerintah dalam mencegah penyerbarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Hal tersebut dikarenakan karakteristik informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bergerak tanpa batas, tempat, dan waktu.

Karena itu, menurut DPR pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk mencegah penyebarluasan muatan yang dilarang adalah dengan melakukan tindakan dan bukan melalui keputusan.

Hal itu karena pemerintah harus bergerak dengan segera atau cepat untuk mencegah penyebarluasan muatan yang dilarang kepada masyarakat luas.

Selain itu, DPR juga telah menerangkan bahwa ketentuan pasal pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE telah mencerminkan adanya proses due process of law karena terhadap tindakan Pemerintah tersebut terbuka upaya untuk banding administrasi dan pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dari sisi pemerintah, disebutkan Presiden telah memberi keterangan tertulis yang diterima dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah.

Disebutkan juga, Presiden kemudian menyampaikan tambahan keterangan tertulis setelahnya.

Pada pokoknya Presiden menerangkan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE.

Terkait dengan pokok permohonan para Pemohon, Presiden menerangkan bahwa walaupun ketentuan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melakukan tindakan, bukan dengan mengeluarkan keputusan tertulis.

Hal tersebut, menurut Presiden, sama sekali tidak menghambat atau menghalang-halangi para Pemohon untuk mengajukan upaya keberatan dan gugatan atas tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.

Menurut Presiden, dalam menerapkan ketentuan pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tentang ITE Pemerintah menjalankan kewenangannya tetap pada ketentuan peraturan perundang-undangan, dan Asas-assas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), baik berkaitan dengan keputusan maupun tindakan pemerintah.

Untuk mendukung keterangannya, Presiden disebut telah menyampaikan dokumen pendukung yang diberi tanda PK-1 sampai bukti PK-16.

Presiden juga telah mengajukan lima orang ahli yakni Harsanto Nursadi, Ifdhal Kasim, Henri Subiakto, Ashwin Sasongko Sastrosubroto, dan Septiaji Eko Nugroho.

Selain itu, Presiden juga disebut telah menyerahkan kesimpulan kepada Mahkamah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas