MA Cabut PP Pengetatan Remisi, Ahli Hukum: Korbannya Bukan Koruptor, Tapi Kita yang Kehilangan Hak
Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti bicara soal hak masyarakat yang hilang akibat ulah koruptor.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti bicara soal hak masyarakat yang hilang akibat ulah koruptor.
Apalagi kekinian Mahkamah Agung (MA) mencabut syarat ketat pemberian remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi napi kasus kejahatan luar biasa.
Aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 itu mencakup di dalamnya narapidana teroris, narkoba, hingga korupsi.
“Dalam korupsi harus diingat lho korbannya itu bukan koruptor, korbannya itu kita-kita yang kehilangan hak kita untuk mendapat fasilitas umum yang baik,” kata Bivitri dalam diskusi virtual bertajuk ‘Menyoal Pembatalan PP 99/2012: Karpet Merah Remisi Koruptor, Selasa (2/11/2021).
Fasilitas umum yang baik, disebutkan Bivitri, misalnya alat kesehatan yang dikorupsi sehingga masyarakat tidak mendapat pelayanan yang maksimal dari negara atau meninggal warga akibat jalanan bolong-bolong karena pembangunan jalan yang dikorupsi.
“Korbannya ini kita, bukan koruptor. Kesalahpahaman ini melebar sampai koruptor dikatakan penyintas,” kata dia.
Baca juga: ICW Minta Jaksa Agung Fokus Perbaiki Kualitas Penegakan Hukum Terhadap Koruptor
Pakar hukum dari dari STIH Jentera ini mengatakan MA salah kaprah memahami konsep restorative justice ketika memutuskan mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012.
Adalah salah konsep ketika majelis hakim berpendapat bahwa fungsi pemidanaan tak lagi sekadar memenjarakan pelaku dengan tujuan memberikan efek jera tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.
“Kita sudah begitu salah kaprah menggunakan konsep. Saya kira MA di sini telah salah untuk memahami restorative justice,” kata Bivitri.
Bivitri berpendapat, pendekatan restorative justice bukan sekadar memberikan win-win solution sebagaimana mediasi dan bukan sekadar bagaimana hukuman orang itu bisa berkurang.
Namun, menurut dia, restorative justice lahir ketika hak asasi manusia dalam mekanisme peradilan tak bisa memberikan keadilan yang maksimal kepada korban.
“Makanya kemudian dikembangkan istilah restorative justice untuk menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan bagi korban,” kata Bivitri.
Baca juga: Rencana Jaksa Agung Beri Hukuman Mati bagi Koruptor, Pengamat: Lebih Tepat Pelaku Dimiskinkan
Adapun MA mengabulkan judicial review (JR) PP tersebut yang diajukan oleh lima pemohon yang saat ini sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Kelas IA, Bandung, Jawa Barat.
Para pemohon mengajukan uji materi atas empat pasal yaitu Pasal 34 A Ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34 A Ayat (3), Pasal 43 A Ayat (1), dan Pasal 43 A Ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
“Menyatakan bahwa norma konsiderans PP Nomor 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995,” demikian bunyi salah satu petitum pemohon dalam putusan yang diterima dari juru bicara MA Andi Samsan Nganro, Jumat (29/10/2021).
Tiga hakim MA yaitu Supandi, Yodi Martono, dan Is Sudaryono mengabulkan gugatan tersebut.
Majelis hakim beralasan, fungsi pemidanaan tak lagi sekadar memenjarakan pelaku dengan tujuan memberikan efek jera.
“Akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice,” demikian bunyi salah satu pertimbangan hakim MA.
Selain itu, majelis hakim berpandangan bahwa narapidana juga manusia yang sama dengan manusia lainnya.
Artinya, narapidana bisa melakukan kekhilafan yang dapat dipidana.
Majelis hakim berpandangan, bukan narapidana yang harus diberantas, tetapi faktor-faktor penyebab tindakan pidana itu terjadi.
“Berkaitan dengan hal tersebut maka sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali yang artinya berlaku bagi semua warga binaan,” demikian alasan hakim.
Baca juga: Jaksa Agung Wacanakan Hukuman Mati Bagi Koruptor, ICW Singgung Jaksa Pinangki
Diketahui PP 99 Tahun 2012 mengatur syarat pemberian remisi untuk tiga tindak pidana khusus yaitu narkotika, korupsi dan terorisme.
Aturan itu menjadi pembeda pemberian remisi untuk narapidana tiga perkara tersebut dengan perkara pidana lainnya.
Dalam PP 99 Tahun 2012, seorang narapidana narkotika, korupsi, dan terorisme yang ingin mendapatkan remisi harus memenuhi syarat antara lain:
1. Narapidan berstatus sebagai justice collaborator.
2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti.
3. Berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.
4. Diberikan pada narapidana dengan pidana paling singkat 5 tahun.
5. Untuk narapidana terorisme harus telah mengikuti program deradikalisasi dan berikrar setia pada NKRI.