Gus Yahya Bicara soal Tatanan Dunia: Tahapan Menuju Equilibrium Baru
Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf justru meyakini tatanan dunia tengah menuju equilibrium baru.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Di tengah memanasnya hubungan antarsejumlah negara di kawasan, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf justru meyakini tatanan dunia tengah menuju equilibrium baru.
Karena letaknya yang sangat strategis dalam menjaga stabilitas maka dunia internasional menginginkan Indonesia menjadi negara yang kuat, bukan hanya di regional tapi juga di kawasan Indo-Pasifik.
"Dalam kaitan itu, maka dunia internasional berkepentingan dengan Indonesia yang kuat, yang stabil, dan jauh dari gejolak," kata Gus Yahya, sapaan Katib Aam itu, saat memberi kuliah umum di Universitas Pertahanan (Unhan), Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (10/11/2021).
Acara yang menerapkan protokol kesehatan ketat ini juga dilakukan secara hybrid dan diikuti oleh semua civitas akademika mahasiswa S1, S2 dan S3 serta segenap staf pengajar.
Berbicara dengan tema "Kontribusi Perjuangan Pahlawan Santri Ditinjau dari Perspektif Sosio-Cultural dan Kontekstualisasi Semangat Persatuan dan Rela Berkorban di Era Digital", Gus Yahya berangkat dari pendekatan historis.
Dijelaskan Gus Yahya, tatanan dunia saat ini belum bisa disebut stabil apalagi kokoh.
Gejolak secara sporadis, jelas eks komisioner KPU itu, dengan mudah terjadi di sejumlah negara dengan pemicu yang susah dijelaskan.
Hal itu mudah dimaklumi, katanya, karena tatanan dunia saat ini, memang baru dibangun.
Tatanan dunia baru, lanjut kandidat kuat Ketua Umum PBNU ini, dibangun di atas puing-puing kolonialisme dan imperialisme yang selama kurang lebih 1300 tahun diadopsi oleh banyak bangsa di dunia.
Jika dibanding era-era penjajahan itu, ujar Gus Yahya, maka usia tatanan dunia baru ini amatlah belia.
Ratusan tahun silam, lanjut pengasuh PP Raudlatut Thalibin Rembang itu, dunia dikuasai oleh imperium-imperium besar.
Mereka saling berekspansi untuk menguasai kawasan tertentu.
Satu bangsa menjajah bangsa lainnya. Imperium Romawi, Persia, Byzantium, Ottoman, Tsar, adalah contoh dari praktek penguasaan satu bangsa atas banyak bangsa lain di dunia. Situasi itu berlangsung berabad-abad lamanya.
Hingga akhirnya, kata Gus Yahya memaparkan visinya tentang NU dan dunia internasional, sejumlah bangsa mulai muak dengan penjajahan dalam segala bentuknya.
"Mereka mulai berani berteriak, melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Perlawanan itu perlahan tapi pasti muncul di sejumlah negara jajahan. Termasuk bangsa Indonesia," kata mantan anggota Wantimpres ini.
Baca juga: IPO: Said Aqil dan Yahya Staquf Miliki Kualitas Keumatan yang Setara
Inspirasi Dunia
Adalah para founding fathers, lanjut Gus Yahya, yang mula-mula meneriakkan mutlaknya membangun tatanan dunia yang baru, yang berkeadilan, satu bangsa hidup setara dengan bangsa lain. Tidak boleh ada lagi penjajahan dalam bentuk apapun.
"Sebelum Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa diperkenalkan, Bapak-Bapak kita sudah lebih dahulu memformulasikan tentang world view baru, lewat Pembukaan UUD 1945," jelas Gus Yahya.
Oleh sebab itu, juru bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid ini mengajak segenap komponen bangsa Indonesia untuk membangkitkan rasa bangga atas lahirnya NKRI.
Proklamasi kemerdekaan yang lalu diterjemahkan dalam Pembukaan UUD 1945 oleh para founding fathers, lanjut Gus Yahya, secara gemilang telah menjadi inspirasi bangsa-bangsa lain di dunia untuk mendapatkan kemerdekaan mereka.
Sejak bangsa Indonesia berhasil lepas dari cengkraman penjajah, maka bak taburan tunas yang mekar di musim hujan, bangsa-bangsa lain juga melakukan perlawanan, merebut kedaulatan dan menggapai kemerdekaan.
"Sangat jelas, para pendiri bangsa kita meneriakkan tentang kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dan karena itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan," terang Gus Yahya.
Jadi, kata Gus Yahya melanjutkan, para pendiri bangsa tidak hanya menginginkan Indonesia merdeka, tetapi lebih dari itu adalah seluruh bangsa di dunia harus merdeka dari kolonialisme dan imperialisme.
Cita dan wawasan internasional soal kemerdekaan dan kedaulatan ini, jelas Gus Yahya, antara lain disuarakan oleh para ulama dan santri pada era itu.
Santri dan Independensi
Maka, muncullah nama-nama besar seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Wahab Hasbullah, KH Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo dan lain-lain.
Mereka, lanjut Gus Yahya, adalah kader-kader bangsa produk asli pesantren.
Sebab, katanya, sebelum praktek politik etis oleh Belanda, bangsa Indonesia hanya mengenal pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Sejarah mencatat, pesantren adalah komunitas independen yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Meski pada tahun-tahun itu kerajaan merupakan bentuk pemerintahan yang sah, jelas Gus Yahya, tapi mereka tidak mengkooptasi pesantren.
Ikatan antara dua kekuatan ini, sering disimbolkan dengan penyerahan hasil panen oleh petani yang santri kepada raja.
"Tapi jelas, pesantren itu independen sejak awal pertumbuhannya," kata Gus Yahya. Lewat dunia pesantren, lalu muncullah para pemimpin informal dari kalangan santri seperti Ki Ageng Mangir, Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Suryomentaram, Ki Ageng Gribig dan lain sebagainya. Dari tangan mereka, lahirlah pula para santri yang menjadi bakal patriot bangsa dan negara.
"Demikian independennya, hingga sejumlah pesantren lewat para Kiai Ageng, lahirlah kesultanan-kesultanan di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam itu bekerjasama dengan pesantren. Banyak pangeran yang dikirim raja untuk menimba ilmu dari para ulama di pesantren. Pesantren sebagai NU kecil, sampai kapan pun akan selalu menjadi benteng pertahanan bangsa Indonesia," ujar Gus Yahya.