KPK Periksa Anggota DPRD Tabalong Fraksi PDIP Terkait Kasus Suap Bupati HSU Abdul Wahid
(KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Anggota DPRD Tabalong Fraksi PDIP, Rini Irawanty/Jamela, dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Anggota DPRD Tabalong Fraksi PDIP, Rini Irawanty/Jamela, dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan tahun 2021-2022, untuk tersangka Bupati HSU Abdul Wahid (AW).
Selain Rini, tim penyidik turut mengagendakan pemeriksaan beberapa saksi lainnya.
Antara lain, Gusti Iskandar, PT Khuripan Jaya; Erik Priyanto, Kontraktor/Direktur PT Putera Dharma Raya; Khairil, CV Aulia Putra; Kariansyah/Haji Angkar, CV Khuripan Jaya; Akhmad Farhani alias H. Farhan, PT CPN/PT Surya Sapta Tosantalina; Akhmad Syaiho, Karyawan PT Cahya Purna Nusaraya; Rohana, PNS pada Dinas PTSP dan Penanaman Modal Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Berikutnya, Wahyuni, swasta; Heri Wahyuni, pensiunan PNS, mantan Plt Kepala BKPP Kabupaten Hulu Sungai Utara; Ratna Dewi Yanti, Konsultan Pengawas Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang Desa Karias Dalam Kecamatan Banjang; Muhammad Mathori, Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran pada BPN Kabupaten Amuntai; Lukman Hakim, swasta; Anshari alias Ahok, swasta; Baihaqi Syazeli, swasta; dan Hidayatul Fitri, swasta.
"Hari ini pemeriksaan saksi tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalsel tahun 2021-2022, untuk tersangka AW," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (22/11/2021).
Ali mengatakan pemeriksaan dilakukan di Polres Hulu Sungai Utara.
Baca juga: Kasus Suap Infrastruktur Bupati HSU Abdul Wahid, KPK Telusuri Indikasi Jual Beli Jabatan
KPK telah mengumumkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada 18 November 2021.
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki selaku pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan tersangka Abdul Wahid selaku Bupati Hulu Sungai Utara untuk dua periode (2012-2017 dan 2017-2022) pada awal 2019 menunjuk Maliki sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh Maliki untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka Abdul Wahid.
Penerimaan uang oleh tersangka Abdul Wahid dilakukan di rumah Maliki pada Desember 2018 yang diserahkan langsung oleh Maliki melalui ajudan tersangka Abdul Wahid.
Pada sekitar awal 2021, Maliki menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas jabatan bupati untuk melaporkan terkait plotting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara Tahun 2021.
Dalam dokumen laporan paket plotting pekerjaan tersebut, Maliki telah menyusun sedemikian rupa dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek tersebut.
Selanjutnya, tersangka Abdul Wahid menyetujui paket plotting tersebut dengan syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee, yaitu 10 persen untuk tersangka Abdul Wahid dan 5 persen untuk Maliki.
Adapun, pemberian komitmen fee yang diduga diterima oleh tersangka Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, tersangka Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen fee dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp1,8 miliar.