Perbincangan Muktamar NU, Jebakan Tokoh, dan Redupnya Perang Gagasan
Sayangnya, sebuah pemikiran yang diciptakan dari abstraksi umum, khususnya berbasis ketokohan seseorang, sangat rentan mendapat kritik tajam
Editor: Husein Sanusi
Perbincangan Muktamar NU, Jebakan Tokoh, dan Redupnya Perang Gagasan
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Detik-detik menjelang Muktamar NU ke-34 di Lampung tidak saja diiringi peristiwa polarisasi di antara para pendukung masing-masing calon ketua umum. Yang lebih ironis lagi adalah polarisasi ini tidak menampilkan kekayaan pemikiran dan gagasan brilian yang semestinya melekat pada identitas kaum Nahdliyyin. Sebaliknya, wacana yang berkembang berupa hipotesa atau anggapan a priori berbasis ketokohan atau figur tokoh tertentu.
Polarisasi berbasis tokoh hingga perkembangan sekarang memang mengerucut pada beberapa figur tertentu. Memang benar opini publik bahwa dua figur ini sama-sama kader terbaik NU hari ini. Namun, seorang figur adalah akumulasi akhir dan abstraksi umum dari sebuah gagasan, termasuk gagasan tentang pengelolaan organisasi di masa depan. Artinya, ketika warga Nahdliyyin disuguhi nama-nama tokoh tertentu maka kesan pertama yang muncul di benak kita semua adalah masa depan NU cukup cemerlang siapapun saja pemenangnya.
Sayangnya, sebuah pemikiran yang diciptakan dari abstraksi umum, khususnya berbasis ketokohan seseorang, sangat rentan mendapat kritik tajam. Ketika kritik ini muncul maka abstraksi umum tak lagi mencukupi, dan pada gilirannya hanya ada emosi. Itu bisa dilihat dari dua kubu yang sedang mendukung calon masing-masing. Emosi itu pun bisa disembunyikan di balik perilaku organisasi yang tidak profesional. Misalnya seorang Rais 'Amm mengeluarkan surat berkop organisasi namun tanpa persetujuan Ketua Umum. Sebaliknya, Ketua Umum mengeluarkan surat berkop organisasi namun tanpa persetujuan Rais 'Amm.
Tidak saja itu, perdebatan yang berbasis ketokohan seseorang juga tidak produktif. Setiap kubu merasa tidak perlu menguji profil maupun visi tokoh masing-masing. Hal ini juga sangat rentan. Tidak heran tatkala ada salah satu figur lain yang berpendapat tanpa menokohkan calon tertentu maka pendapatnya menjadi cukup brilian. Misalnya Habib Luthfi pernah mengatakan bahwa Muktamar ini bukan semata-mata soal pemilihan ketua umum maupun Rais 'Amm. Para Muktamirin nantinya juga harus memikirkan perkara-perkara yang lebih substansial menyangkut masa depan organisasi dan jamaah.
Pandangan Habib Luthfi bin Yahya di atas adalah preseden penting untuk memancing agar warga Nahdliyyin umumnya dan calon Muktamirin khususnya tidak terlalu fokus pada soal siapa figur yang layak memimpin NU. Tetapi, perkara-perkara yang substansial bagi organisasi juga harus dipikirkan. Nyatanya, tidak lama setelah Habib Luthfi mengeluarkan pendapatnya, disusul oleh figur publik lainnya, yaitu tokoh muda dari Yogyakarta. Gus Muwafiq berpendapat bahwa ada masalah besar dalam organisasi. Banyak kyai-kyai NU diminta untuk menjaga jama'ah, namun dalam kaitannya dengan Muktamar ini, mereka yang berjuang di bawah tidak mendapatkan slot suara.
Apa yang dipikirkan Gus Muwafiq adalah kritik yang sangat substantif, karena mengarah pada jantung persoalan dan sistem pemilihan. Ini memang benar, karena pada kenyataannya ulama-ulama yang berjuang membela NU, menjaga ideologi Aswaja, dan 24 jam bersentuhan dengan masyarakat bukan semata-mata adalah mereka yang memiliki hak suara dalam Muktamar. Ada banyak kyai-kyai di kampung, yang berjasa besar menjaga jama'ah dan jam'iyah, namun mereka tidak dianggap dan pada gilirannya tidak ada sistem yang memungkinkan mereka menyampaikan aspirasi di muktamar.
Kritikan Gus Muwafiq tidak semata-mata mewakili aspirasi dirinya sendiri, melainkan lebih pada cermin tentang realitas yang ada. Ada pasal-pasal yang bermasalah dalam AD/ART NU sebagai organisasi. Yaitu ketua umum hanya dipilih oleh anggota muktamar. Ini bila dilihat dari kacamata demokrasi, maka statusnya lebih tepat disebut semi-otoriter; di mana tokoh-tokoh yang menjabat jabatan struktural tertentu merasa berhak untuk berpendapat karena dilegitimasi oleh aturan hukum tertentu. Padahal, mereka yang duduk di forum muktamar belum tentu mewakili suara jama'ah Nahdliyyin.
Ketidakterwakilan suara jama'ah Nahdliyyin itu pun sangat kentara di dalam statement Gus Muwafiq di atas. Karenanya, jika NU ingin menjadi organisasi modern yang mengusung nilai-nilai demokrasi maka sudah saatnya melakukan perombakan ulang atau reformulasi atas ad/art yang memungkinkan ketua umum dipilih langsung oleh seluruh jamaah Nahdliyyah, bukan semata-mata oleh anggota muktamar. Pemilihan langsung Ketua Umum Tanfidziah akan meminimalisir kemungkinan-kemungkinan adanya "money politics"; atau, jikapun terpaksa harus ada praktik kotor money politics tersebut, setidaknya keuntungan tidak jatuh ke tangan Muktamirin saja, melainkan terdistribusi dengan merata ke seluruh jamaah Nahdliyyah.
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Habib Luthfi, Gus Muwafiq, dan Forum Muda Nahdliyyin Indonesia (FMNI) dalam tulisan sebelumnya, adalah contoh-contoh kecil tentang apa yang semestinya dibicarakan sebelum Muktamar; suatu perbincangan kritis yang tidak saja tentang tokoh-tokoh yang akan bersaing merebut pucuk kekuasaan. Harus disadari betul bahwa wacana yang sedang berkembang hari ini betul-betul jumud, dan tidak mencerminkan kualitas warga Nahdliyyin yang menyandang gelar "annahdlah", era kebangkitan kaum cendikiawan. Wacana yang ada hanya soal dukung-mendukung masing-masing jagoan mereka. Pembicaraan kritis seperti yang dimotori oleh Habib Luthfi, Gus Muwafiq, atau FMNI sungguh sangat sedikit.
Minusnya wacana kritis jelang Muktamar harus segera diakhiri. Sebab, di luar perbincangan tentang siapa tokoh yang layak memimpin NU masih sangat banyak dan sangat luas. Misalnya tentang bagaimana NU sebagai organisasi merebut kekuasaan di masa depan, tentu selain topik yang sudah diangkat oleh Habib Luthfi, Gus Muwafiq dan FMNI. Tentang upaya merebut kekuasaan ini sangat penting, karena banyak ormas lain yang tidak seideologi dengan NU memiliki strategi dan langkah yang sangat jitu, khususnya dalam merangsek ke kekuasaan.
Misalnya, NU yang sejak kelahirannya ditujukan melawan penyebaran Wahhabisme, kini tampak kalah langkah dari pengusung Wahhabisme itu sendiri. Semula Wahhabisme adalah ideologi kecil, namun Muhammad bin Abdul Wahhab sangat cerdik dalam meraih kekuasaan, melalui bekerjasama dengan keluarga Saud untuk merebut kekuasaan. Kolaborasi ini terbukti efektif. Hari ini Wahhabisme dan keluarga Saud berhasil menciptakan negara dengan ideologi yang kuat. Hal serupa juga terjadi di Iran, yang menampilkan kolaborasi antara Syi'ah dan kekuasaan politik.
Selain kasus Wahhabisme dengan Saudi Arabianya atau Syi'ah dengan Irannya, kita juga bisa ambil contoh kolaborasi ideologi orang-orang (pendakwah) sebelum mereka mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka sadar bahwa gerakan dakwah kultural yang mereka lakukan sangat lamban dan tidak strategis. Barulah tercetus ide mendirikan partai politik dan pada gilirannya ikut dinamika di dalamnya. Terkadang berada di luar kekuasaan, terkadang juga berada di dalam lingkaran kekuasaan.
Alhasil, secara kekuasaan, PKS mampu mengimbangi PKB, itupun jika seluruh warga NU berada di parpol ini. Artinya, ideologi Wahhabisme dengan PKS-nya hampir menyaingi ideologi NU dengan PKB-nya. Ini merupakan prestasi besar bagi Wahhabisme. Sekaligus prestasi luar biasa bagi kader-kader PKS, yang merangsek dari gerakan kultural ke gerakan struktural, tanpa meninggalkan dakwah kultural mereka. Sayangnya, warga NU tidak menyadari perkembangan semacam ini, bahkan dengan sangat naif mengatakan dirinya hanya bergerak di ranah politik kebangsaan dan mengisolasi diri dari politik kekuasaan. Ini sangat ambigu, dan ketika ada kader NU keceplosan, seperti Menteri Agama yang mengatakan kementeriannya adalah hadiah untuk NU, maka muka Nahdliyyin malu; antara iya dan tidak.
Intinya, penulis hanya menyarankan bahwa topik pembicaraan jelang Muktamar sangatlah banyak. Pembicaraan yang terfokus pada pemilihan ketua umum sangat tidak produktif, karena di luar sana banyak sekali yang harus dipikirkan, seperti yang telah digagas oleh figur-figur besar, termasuk tentang upaya NU meraih kekuasaan di masa depan. Perbincangan Muktamar yang hanya berkutat tentang pemilihan ketua umum adalah jebakan tokoh yang dapat membonsai pemikiran kritis di sekitarnya muktamar. Padahal potensi NU sangat besar dan memberikan ruang wacana yang luas bagi mereka jauh lebih produktif dan positif dibanding hanya bicara tokoh-tokoh tertentu yang layak memimpin NU. Wallahu a'lam bis shawab.
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.