Lewat Buku “Demokrasi di Era Post Truth”, Kepala BIN Uraikan Ancaman Disinformasi serta Polarisasi
Dalam bukunya, Budi memperlihatkan bahwa media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah
TRIBUNNEWS.COM — Kemajuan teknologi komunikasi dan media sosial turut memberi dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Informasi yang belum diketahui kebenarannya dan dipercayai sebagai fakta seringkali muncul dan cepat merebak di masyakarat.
Yang menjadi permasalahan, masyarakat cenderung mudah memercayai “info bohongan” tanpa disertai upaya pengecekan fakta atas sumber berita tersebut. Situasi itulah yang membuat kita kini sedang berada di era pasca-kebenaran (post-truth).
Menyikapi hal ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan memberikan uraian yang cukup lengkap mengenai post-truth lewat karya teranyarnya, yakni buku Demokrasi di Era Post-truth terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2021.
Dalam bukunya, Budi memperlihatkan bahwa media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu tertentu secara negatif tanpa dasar yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat.
Era post-truth sebagai ancaman bagi demokrasi
Dalam bukunya, disebutkan bahwa terdapat empat kategori disinformasi post-truth yang diproduksi dan disirkulasikan, yaitu disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial.
Disinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu, serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.
Demokrasi elektoral yang sehat sulit dibangun apabila masyarakat tidak menggunakan kemampuan kritisnya dalam mengonsumsi informasi. Di era ini, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif.
Di Indonesia, polarisasi politik, khususnya dalam satu atau dua dekade ini, tampak nyata dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Tidak hanya polarisasi isu, namun juga polarisasi geokultural.
Konten-konten negatif lalu-lalang mengaburkan fakta-fakta politik sebenarnya dan melahirkan apa yang disebut politik post- truth.
Polarisasi politik pada Pemilu 2019, misalnya, jauh lebih intens dan lebih tajam dibandingkan dengan Pemilu 2014. Proliferasi dan viralisasi konten-konten kampanye hitam yang cenderung provokatif melalui hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian digaungkan di ruang virtual.
“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,” tulis Budi.
Praktik-praktik politik post-truth, lanjut Budi, membawa konsekuensi negatif berupa terkikisnya tradisi perdebatan yang sehat di masyarakat, terjadinya kebuntuan politik, dan timbulnya ketidakpastian kebijakan.
Terjadi secara global
Budi juga menuliskan bahwa polarisasi politik ini turut terjadi secara global. Di Amerika Serikat, polarisasi politik yang cukup tajam antara kubu liberal dan kubu konservatif terjadi akibat disinformasi post-truth, terutama pada masa pemilu.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris, ditandai oleh pertarungan dua partai dominan, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif.
Karena itulah dalam Pemilu Amerika Serikat 2016, Barack Obama menggarisbawahi peran media sosial dalam mempercepat terjadinya polarisasi yang tajam antarpihak yang berkompetisi.
Kondisi yang terjadi di Amerika Serikat ternyata juga dialami Korea Selatan, di mana Pemilihan Presiden 2017 silam turut disertai dengan peningkatan penyebaran berita palsu.
Ketika itu, presiden berkuasa, Park Geun-hye, dimakzulkan menjelang pemilihan presiden. Jabatan yang kosong diisi Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn.
Dikarenakan Presiden hasil pemilu diharapkan segera mengisi kekosongan tersebut, Pilpres yang seharusnya dilaksanakan 20 Desember 2017 dipercepat menjadi 9 Mei 2017.
“Isu pemakzulan menjadi latar belakang kampanye yang panas. Isu itu membuat tema kampanye terpolarisasi antara pendukung dan penentang pemakzulan presiden. Debat capres pun menjadi debat yang tidak terkontrol, sehingga para capres terpancing mengeluarkan beragam berita palsu dan informasi yang menyesatkan,” tulis Budi Gunawan.
Antisipasi Indonesia terhadap praktik disinformasi post-truth ke depan
Demi mengamankan demokrasi elektoral mendatang, menurut Budi, perlu dilakukan perumusan strategi untuk mengantisipasi praktik disinformasi post-truth. Ia pun menyebut empat strategi yang ditawarkan.
Pertama, memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara. Cara ini meliputi strategi penyebaran informasi, pelatihan, serta peningkatan kualitas SDM intelijen tentang dunia siber dan platform media baru.
Kedua, melakukan intervensi teknologi. Harus ada upaya inovasi teknologi fact-checking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil. Selain itu, teknologi filter konten oleh industri platform untuk mendeteksi konten-konten negatif harus terus diperbarui.
Ketiga, memperbarui regulasi. Seluruh pihak yang berelasi di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran.
Namun, ia berpendapat bahwa diperlukan penyempurnaan atas UU tersebut untuk dapat mengikuti perkembangan yang terjadi.
Terakhir, mengingat masyarakat mudah memercayai informasi, Budi Gunawan menyarankan pembentukan masyarakat kritis. Upaya ini dapat dilakukan melalui edukasi pola pikir yang kritis, tidak menelan mentah-mentah informasi.
Saksikan bedah buku “Demokrasi di Era Post Truth”
Buku “Demokrasi di Era Post Truth” karya Budi Gunawan akan dikupas tuntas dalam kegiatan diskusi online bertajuk “Era ‘Post Truth’ Ancam Demokrasi?” pada Sabtu, 11 Desember 2021 pukul 18:00-20:00 WIB melalui kanal YouTube resmi Tribunnews, Kompas.com, KompasTV, dan Penerbit KPG.
Kegiatan diskusi ini menghadirkan pemerhati media massa Agus Sudibyo, Content Producer dan Artis Raffi Ahmad, dan Doktor Kajian Media dan Budaya UGM Barito Mulyo Ratmono sebagai pembicara, serta Jurnalis Kompas TV Frisca Clarissa sebagai moderator.
Daftarkan diri Anda pada sesi diskusi “Era ‘Post Truth’ Ancam Demokrasi?” di sini.