Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ketua KPK Sebut Presidential Threshold Mestinya 0 Persen, Gerindra: Enggak ada Masalah

Kalau Gerindra sih enggak pusing, mau PT 20 persen, 15 persen, mau 5 persen, mau 0 persen, kami siap aturan

Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Ketua KPK Sebut Presidential Threshold Mestinya 0 Persen, Gerindra: Enggak ada Masalah
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menanggapi soal pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menilai sebaiknya presidential threshold (PT) menjadi nol persen.

"Kalau Gerindra sih enggak pusing, mau PT 20 persen, 15 persen, mau 5 persen, mau 0 persen, kami siap aturan," ujar Habiburokhman saat dihubungi, Senin (13/12/2021).

Anggota Komisi III DPR RI itu mengatakan tak masalah jika Firli mengatakan hal tersebut.

Menurutnya, itu adalah pendapat Firli

"Kami mana saja silakan, enggak ada masalah," tambahnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang tengah ramai menjadi perbincangan.

Diketahui, ada sejumlah pihak yang tengah menggugat ambang batas ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: PKB Jawa Tengah Optimalkan Mesin Partai Menuju Pemilu 2024

Berita Rekomendasi

Hal itu dia singgung Firli Bahuri saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021) lalu.

"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, president threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu pak kalau kita ingin mengentaskan korupsi," kata Firli.

Menurut Firli, dengan PT 0 persen dan 0 rupiah, tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. Sebab, biaya politik tinggi menyebabkan adanya politik transaksional.

Padahal, di era reformasi yang sudah bertransformasi ini, keterbukaan merupakan ruh daripada demokrasi di Indonesia.

Dengan keterbukaan, kata Firli, seharusnya tidak ada lagi celah untuk korupsi ataupun transaksional di ruang gelap yang kelam dan saat malam gelap gulita. "Maknanya apa? Maknanya kita setelah tertutup seharusnya semuanya transparan, semuanya akuntabel, semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak perlu adanya politik yang mahal, tidak perlu," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas