Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Kasus Asabri, Pakar Hukum: Seharusnya Penyelenggara Negara Dituntut Lebih Berat

Nur menegaskan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Soal Kasus Asabri, Pakar Hukum: Seharusnya Penyelenggara Negara Dituntut Lebih Berat
Kompas.com/Tatang Guritno
Terdakwa dugaan korupsi di PT Asabri, Heru Hidayat jalani sidang pleidoi di Pengedilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/12/2021). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Nur Basuki Minarno menilai penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat dibandingkan pihak swasta dalam kasus-kasus korupsi.

Pasalnya, korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau PNS.

Hal ini disampaikan Nur Basuki menanggapi perbedaan tuntutan dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (persero) dimana pihak swasta yakni Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba Heru Hidayat dituntut dengan pidana hukuman mati sementara sejumlah mantan direksi PT Asabri yang menjadi terdakwa hanya dituntut dengan pidana hukuman penjara 10 sampai 15 tahun.

“Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatna dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Nur kepada wartawan, Selasa (21/12/2021).

Baca juga: Ini Tanggapan Kejagung Soal Nota Pembelaan Terdakwa Heru Hidayat Terkait Tuntutan Hukuman Mati

Nur menegaskan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS.

Karena, kata dia, penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.

“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” tandas dia.

Berita Rekomendasi

Dia juga menegaskan ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.

“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” jelas Nur.

Nur enggan menyebutkan tuntutan jaksa tersebut tidak adil karena menurut dia makna kata ‘adil’ tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak.

Hanya saja, kata dia, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.

“Saya nggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” pungkas Nur.

Tidak Adil

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas