Partai Rakyat Singgung Eksistensi Syiah dan Kaum Minoritas Lainnya dalam Bingkai Kebhinekaan
Penganut aliran Syiah, seorang LGBT dan kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan juga adalah rakyat dalam makna kebhinekaan.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DPP Partai Rakyat, Arvindo Noviar menyatakan penganut aliran Syiah, seorang LGBT dan kaum minoritas lainnya yang terpinggirkan juga adalah rakyat dalam makna kebhinekaan.
Sebab kata Vindo sapaan akrabnya, Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang menghargai kebebasan sikap dan perbedaan pendapat.
Menurutnya, kata 'rakyat' selalu menjadi yang utama untuk dijadikan bahan kampanye oleh sebagian besar partai politik.
Tetapi seringkali saat mereka mengucapkan kata “rakyat” bersamaan dengan itu pula mereka menyempitkan arti 'rakyat' itu sendiri.
"Seolah-olah kata 'rakyat' hanya pantas disematkan pada kelompok yang mengamini ide-ide mereka saja. Sedangkan bagi kelompok yang berlawanan dengan ide-ide mereka, serta-merta diposisikan sebagai kelompok yang tidak perlu dibela sebagai rakyat," ujar Arvindo Noviar Ketua Umum DPP Partai Rakyat melalui rilisnya, Minggu (02/12/2022) di Jakarta.
Baca juga: Tak Setuju Usulan Polisi di Bawah Kementerian, Sahroni: Jangan Sampai Polisi Jadi Alat Politik
Baca juga: Seskab: 2022 Pemerintah akan Terus Tangani Pandemi dan Pulihkan Ekonomi Sebaik Mungkin
Vindo menjelaskan, sikap semacam itu seringkali diamini dan dilakukan juga oleh banyak para tokoh intelektual dan cendekiawan tersohor.
Biasanya bersamaan dengan mereka mengucapkan kata 'rakyat'.
"Mereka bersikap, jika mereka sunni maka seolah-seolah syiah tidak termasuk sebagai rakyat. Jika mereka heteroseksual maka LGBT seolah-olah tidak termasuk sebagai rakyat. Tentu banyak persoalan serupa kalau mau kita sebutkan satu per satu," jelasnya.
Fakta bahwa adanya stigma terhadap seorang yang memilih menjadi seorang penganut Syiah dan LGBT tidak bisa ditutup-tutupi.
Bahkan acapkali dibumbui dengan diskriminasi, perundungan, persekusi, bahkan dicap sebagai penyakit yang berbahaya.
"Sehingga mereka menjadi semakin tersisih di tanah airnya sendiri. Padahal kita tahu, persoalan semacam itu adalah persoalan hak atas keyakinan dan ketubuhan yang letaknya sangat pribadi dan dilindungi oleh konstitusi," tandasnya.
Baca juga: Masih Pakai Baju Tahanan, Napi Kasus Pencabulan di Bekasi Meninggal saat Kabur Usai Jebol Plafon
Baca juga: Awal Tahun 2022, Satpol PP Kabupaten Bogor Pantau Kerumunan Kebun Teh Gunung Mas dan Warpat Puncak
Kata dia, pada sebuah kasus seorang transpuan terpaksa harus menikahi perempuan, dalam sebuah pernikahan temporer.
Dimana hanya sekadar untuk menghindari stigma buruk dari keluarga dan masyarakat.
Bukankah keabaian kita terhadap persoalan ini akan terus menumbuhkan persoalan-persoalan baru?.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.