Herry Wirawan dan Dendam Elite
Rakyat menjadi bulan-bulanan ketika jadi pesakitan, sebaliknya elite dimanjakan.
Editor: cecep burdansyah
Oleh Cecep Burdansyah*
TUNTUTAN hukuman mati dan kebiri terhadap guru pelaku pencabulan muridnya mendapat reaksi masyarakat hampir seragam. Publik setuju dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Pertimbangan publik umunnya melihat perilaku Herry Wirawan sangat melukai korban dan keluarganya, terutama dari aspek psikologis korban, trauma yang bakal memengaruhi masa depannya.
Publik juga menilai, pelaku sebagai seorang guru yang seharusnya membimbing para murid membukakan masa depan ke arah yang cerah, malah sebaliknya membawa ke ruang gelap gulita.
Perbuatan Herry tentu akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan. Tidak menutup kemungkinan ada warga yang tidak percaya lagi terhadap lembaga pendidikan. Terlebih, di masyarakat kita sangat gampang membuat generalisasi.
Tuntutan hukuman mati dan kebiri memang hukuman yang seberat-beratnya yang dikenakan pada pelaku. Terlepas setuju atau tidak dengan tuntutan tersebut, kita harus menempatkan bahwa mempidana seseorang bukan sebagai tujuan.
J. Remelink dalam bukunya “Pengantar Hukum Pidana Material (1)” menyebutkan, hukuman pidana bukanlah tujuan, melainkan hanya alat atau sarana negara untuk menciptakan ketertiban di masyarakat.
Jadi tujuannya sendiri adalah menjaga ketertiban agar norma-norma yang telah disepakati bersama dipatuhi dan sipatnya memaksa. Hukuman pidana baru dijatuhkan dan dilaksanakan apabila seseorang melanggar norma-norma tersebut.
Dalam konteks norma yang dilanggar Herry Wirawan, apabila hakim menjatuhkan hukuman mati dan kebiri, kita harus melihat dari perspektif yang lebih luas.
Pertama, tuntutan jaksa sebagai perpanjangan negara, menghendaki agar perbuatan pelaku tidak terulang di masyarakat, alias ada efek jera. Negara bermaksud melindungi warganya dari kejahatan seksual seperti yang dilakukan Herry Wirawan.
Apabila hakim menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan jaksa, berarti hakim sependapat dengan negara untuk melindungi warga mayarakat, terutama perempuan dari perbuatan bejat seperti dilakukan Herry Wirawan.
Dendam Elite
Tak bisa dimungkiri bahwa reaksi publik terhadap tuntutan hukuman mati dan kebiri Herry, merupakan dendam terhadap pelaku. Publik mengomentari di jagat media sosial dengan nada penuh emosional.
Namun publik awam masih terbilang wajar. Ketika reaksi bernuansa dendam itu datang dari kalangan elite seperti menteri, gubernur, istri gubernur, dan politikus anggota DPR, kita layak mempertanyakan komitmen mereka terhadap hukum secara keseluruhan.
Pertama, kalangan elite baik dari eksekutif dan legislatif seharusnya tidak perlu memberi reaksi berlebihan, seakan-akan ingin tampil ke publik sebagai orang yang ingin menegakkan hukum. Sebab, jaksa penuntut merupakan perpanjangan negara, suara negara sudah terwakili oleh jaksa.
Kedua, kalau cara berpikirnya pada tujuan hukum pidana, yaitu menjaga ketertiban di masyarakat, kalangan elite harus bertindak adil, yaitu memberi perhatian serius pada kasus pidana yang juga merusak tatanan sosial dan bernegara, seperti korupsi, narkoba, teroris dan peristiwa pidana lainna yang melibatkan aparat negara.
Kasus korupsi yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto, Ketua MK Akil Mochtar, para menteri, gubernur dan para kepala daerah, apakah perbuatan mereka tidak meruntuhkan kepercayaan publik pada institusi?
Apakah selama ini tuntutan jaksa dan vonis hakim sudah sesuai dengan tujuannya untuk menimbulkan efek jera? Mengapa para elite tidak bersuara ketika hukuman jaksa Pinangki dikurangi dari 10 tahun jadi 4 tahun?
Inilah kenyataan keadilan hukum di tanah air. Ketia pelaku pidana dari kalangan rakyat yang tak memiliki sumber daya jaringan politik dan ekonomi, kalangan elite begitu mudah menyanyikan paduan suara.
Anehnya, ketika pelaku pidana dilakukan dari kalangan elite sendiri, mereka membisu seakan tidak terjadi apa-apa.
Kita tak pernah mendengar suara menteri, gubernur, istri gubernur, anggota DPR saat Menteri Sosial Jualiari Batubara ditangkap, Setya Novanto bersandiwara, Akil Mochtar dihukum seumur hidup, dan pelaku-pelaku lainnya dari kalangan elite.
Itulah realitas keadilan hukum di Indonesia. Rakyat menjadi bulan-bulanan ketika jadi pesakitan, sebaliknya elite dimanjakan. Berapa kali kasus elite dipidana tapi ketahuan keluyuran atau selnya difasiliasi serba mewah.
Sepanjang mentalitas publik, terutama kalangan elite seperti itu, seberat apa pun tuntutan jaksa dan vonis hakim terhadap pelaku pidana, tujuan hukum pidana untuk menjaga tatanan sosial tak akan tercapai.*
*Penulis, jurnalis tribunnetwork
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.