Duh, Sampah Plastik Kembali Banjiri Pantai Kuta
Sampah plastik masih jadi permasalahan besar di Pulau Dewata yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata utama di Indonesia.
Penulis: Yulis
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM – Sampah plastik masih jadi permasalahan besar di Pulau Dewata. Terlebih, Bali merupakan destinasi wisata unggulan di Indonesia, baik untuk pelancong lokal maupun internasional.
Ini bisa terlihat dari sebuah video anyar yang diposting akun twitter @punapibali, kanal info terkini Bali, pada Minggu (23/1). Berdurasi delapan detik, video yang memperlihatkan wajah Pantai Kuta di pagi hari yang nyaris tak bisa dikenali lagi karena sampah.
Bibir pantai yang keindahannya kerap terabadikan dalam lembaran kartu-kartu pos terlihat merana. Aneka sampah, utamanya sampah plastik, terserak di pasir pantai. Yang terang dan terlihat mendominasi adalah sampah kantong plastik dan gelas plastik.
Banyak warganet yang tak tahan berkomentar. Ada yang bahkan sampai mempertanyakan apa yang salah pada masyarakat Bali hingga pantai terlihat jorok.
“Setahu saya waktu KKN, murid SD sudah diajarin tentang buang sampah di tempat sampah. Tapi kok seperti tidak berefek ya? Salahnya dimana?” kata akun @_restuputri_.
Sebenarnya, bukan kali itu saja Pantai Kuta kebanjiran sampah. Dalam beberapa tahun terakhir, utamanya saat musim penghujan, hampir semua pantai ikonik di Bali rutin dapat kiriman sampah dalam jumlah yang masif.
Pada Desember silam, misalnya, Koordinator Deteksi Evakuasi Sampah Laut Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung, I Made Gede Dwipayana, menyebut total sampah yang terdampar di pantai-pantai ikonik di pesisir barat Kabupaten Badung mencapai 120 ton.
"Ada sekitar 120 ton, mulai dari Pantai Kuta, Seminyak, Legian, Kedonganan, Jimbaran," kata Dwipayana saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/12/2021).
Menurut Dwipayana, sampah yang terdampar didominasi oleh sampah kayu dan sampah plastik. Sampah-sampah itu, lanjutnya, merupakan sampah yang hanyut dari sungai-sungai di Bali hingga terbawa arus ke laut. Selain itu ada pula sampah dari pulau lain yang terbawa arus laut hingga ke perairan selatan Bali.
Terlepas dari itu semua, fenomena membajirnya sampah plastik di Bali terjadi di saat pemerintah provinsi sejak 2018 telah menyatakan perang total terhadap plastik sekali pakai.
Pada 2018, Gubernur Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Secara spesifik, peraturan melarang produsen, distributor dan pelaku usaha dilarang memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik untuk mengurangi sampah plastik dan mencegah kerusakan lingkungan.
Soal gelas plastik yang menghantui pantai-pantai di Bali juga telah menarik perhatian Sungai Watch, sebuah lembaga nirlaba berbasis Bali.
Dalam sebuah audit lingkungan atas sampah plastik di perairan sungai di Bali, lembaga menyebut umumnya adalah sampah korporasi, terutama berupa botol plastik, sedotan, kantong kresek, kemasan saset, gelas plastik, ban, sendal, kertas dan kardus, styrofoam, dan plastik keras jenis HDPE (High-density polyethylene).
Dari semua jenis sampah plastik itu, Sungai Watch menggambarkan sampah gelas plastik sebagai salah satu polusi plastik paling buruk. "Gelas sekali pakai terbuat dari plastik Polypropylene atau "PP" dalam istilah daur ulang, penutupnya dari jenis plastik yang lain dan kerap disertai dengan sedotan plastik," kata lembaga tersebut dalam sebuah laporan audit polusi plastik di perairan sungai di Bali pada Oktober 2020.