Pakar Kebijakan Publik Minta BPOM Fair Terkait Pelabelan BPA Free Galon Guna Ulang
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, BPOM harus adil dalam hal pelabelan BPA Free khusus galon guna ulang yang memicu keresahan masyara
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan, BPOM harus adil dalam hal pelabelan BPA Free khusus galon guna ulang yang memicu keresahan masyarakat.
Kebijakan ini keluar lebih diakibatkan adanya persaingan bisnis di dua industri besar AMDK dan sebagai lembaga pengawas makanan seharusnya BPOM tidak ikut campur dalam masalah ini.
"Kalau mau fair BPOM tidak hanya mengkhususkan untuk galon PC ini saja tapi untuk semua produk kemasan yang mengandung zat-zat berbahaya seperti galon PET, kemasan kaleng, dan juga kemasan-kemasan lain yang mengandung unsur logam atau merkuri," kata Agus Pambagio dalam keterangan tertulis, Kamis (10/2/2022).
Terkait dua jenis galon ini, Agus menilai dua-duanya mengandung zat beracun saat bicara soal plastik.
"Di polikarbonat pakai BPA, kalau di PET pakai acetaldehyde."
Baca juga: Temukan Kontaminasi BPA di Galon Isi Ulang, BPOM: Kami Akan Evaluasi dan Buat Peraturannya
"Pertanyaan saya, kalau itu fair kenapa BPOM tidak meneliti yang acetaldehyde juga. Kalau di PC tidak boleh BPA, berarti yang di PET juga tidak boleh acetaldehyde,” ucapnya.
BPOM dalam peraturan nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, kata Agus jelas-jelas tidak meresahkan penggunaan galon PC ini sebagai kemasan minuman dan menyatakan aman untuk digunakan karena migrasi kadar BPA yang ada di galon polikarbonat itu masih jauh di bawah dari yang dipersyaratkan BPOM.
Sepengatahuan Agus, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah menyatakan kalau kebijakan pelabelan Free BPA khusus galon PC ini tidak fair karena ada pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini.
“Nah, kenapa cuma BPA saja, acetaldehyde tidak, atau bahan lainnya, kan nggak boleh begitu kebijakan. Itu belajar darimana BPOM saya tidak tahu. Mungkin ada tekanan politik. Okelah tekanan politik, tapi jangan merugikan masyarakat dong. Masyarakat sudah puluhan tahun pakai galon yang polikarbonat dan nggak masalah, BPOM juga sudah mengeluarkan persyaratan, tapi sekarang diubah dengan sangat drastis di bawah tekanan-tekanan itu. Buat saya sih tidak fair dari sisi kebijakan, itu namanya dzolim,” katanya.
Agus mengaku telah bicara secara pribadi ke Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.
“Saya sudah sampaikan, saya sudah kirimkan, saya bilang ini (kebijakan Pelabelan BPA Free galon PC) mengacaukan. Saya meminta agar Pak Pramono sebagai penguasa dari Perpres 68 tahun 2021 bisa meluruskan kebijakan ini karena karena ini kebijakan yang sangat diskriminatif,” katanya.
Sikap BPOM
Terkait ini, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, Oktober 2021 lalu
sudah menyampaikan perkembangan rancangan kebijakan (policy brief) pencantuman label risiko BPA pada air minum kemasan.
Menurut Rita, arah dari policy brief yang telah digulirkan sejak awal 2021 itu adalah pencantuman label risiko BPA pada semua produk air minum dalam kemasan.
"Redaksinya nanti bisa berupa kalimat 'mungkin/dapat mengandung BPA' untuk galon yang menggunakan plastik polikarbonat," katanya merujuk pada insiatif pelabelan "BPA Free" (Bebas BPA) yang telah diadopsi pemerintah di sejumlah negara, termasuk di Amerika Serikat dan Perancis.
BPA adalah bahan baku utama yang menjadikan Polikarbonat -- jenis plastik kemasan yang jamak dijumpai pada produk galon isi ulang -- mudah dibentuk, tahan panas dan awet.
Sebagai senyawa kimia, BPA dapat bermigrasi pada air dalam kemasan plastik dan memicu risiko kesehatan yang serius.
Lantaran itu lah, sejak 2019, BPOM menetapkan batas migrasi maksimal BPA sebesar 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan.
Berkaitan dengan hal itu, BPOM secara rutin mengecek kepatuhan industri AMDK atas batas migrasi BPA itu.
Di Senayan, anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina memberi aplus. "Saya minta BPOM membuat aturan setiap wadah plastik untuk tidak ada kandungan BPA dengan ditandai ada label 'BPA free'," katanya dalam sesi dengar pendapat dengan Kepala BPOM, Penny K Lukito, pada November.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia, Budi Dharmawan menyatakan mendukung inisiatif BPOM ini.
"Sepanjang rancangan kebijakan BPOM memang berlatar keinginan untuk kepentingan kesehatan masyarakat secara luas, kami mendukungnya," kata Budi Dharmawan.
Menurut Budi, penolakan lobi industri atas rancangan kebijakan pelabelan itu lebih karena persaingan memperebutkan pasar air minum kemasan bermerek di kalangan masyarakat menengah ke atas yang angkanya mencapai 35 miliar liter per tahun.
"Ini sebenarnya hanya pertarungan di level dewa," katanya merujuk pada persaingan antara perusahaan-perusahaan galon isi ulang bermerek yang produknya menggunakan plastik Polikarbonat yang mengandung BPA dan telah 40 tahun lebih menguasai pasar versus sejumlah pemain baru yang produknya menggunakan plastik lebih berkelas dan bebas BPA.
"Bagi kami, andai konsumen datang untuk isi ulang ke depot dengan membawa ember tetap akan kami layani," kata Budi menyebut fokus bisnis industri depot air minum adalah penyediaan air bersih untuk kalangan menengah ke bawah.